Indonesia merupakan negara dengan sistem kesehatan yang berkembang dengan laju yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain yang sekelas, baik secara Produk Domestik Bruto (PDB) maupun jumlah populasi. Hal ini ditunjukkan oleh rasio populasi per dokter (sekitar 1:1420), yang lebih tinggi dibandingkan Bangladesh (1:1570) dan Filipina (1:1667) [1], [2]. Tidak hanya itu, Indonesia juga telah terbukti mampu mengendalikan pandemi COVID-19 dengan rasio kasus terendah se-Asia Tenggara, yaitu sebanyak 15.340 kasus per 1 juta populasi terhitung akhir Desember 2021 [3]. Pencapaian ini merupakan resultan dari semangat gotong royong upaya kesehatan masyarakat dan sistem pendidikan kesehatan yang tersebar di seluruh pelosok negeri.

Perlu kita sadari, bahwa ilmu dan pendidikan kesehatan tidak lepas dari kontribusi rumpun ilmu eksakta, yang juga dikenal sebagai STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa/Teknik, dan Matematika). Penemuan berbagai fenomena alam telah meningkatkan pemahaman kita mengenai cara kerja tubuh manusia, dan seyogyanya menjadi fondasi untuk merancang riset klinis. Hal ini mencakup tindakan diagnostik dan pendekatan tatalaksana baru, serta riset untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas metode yang sudah sering digunakan. Implikasinya adalah perbaikan kualitas praktik kedokteran harus mengacu pada pemahaman ilmu biomedika oleh praktisi STEM, dan sebaliknya: penguasaan konsep-konsep dasar STEM oleh praktisi kesehatan.

Sebagai contoh, kita dapat menyimak kisah hidup pelopor pengembangan jantung buatan, Dr. Robert Jarvik. Beliau lahir pada tahun 1946 di Amerika Serikat dan dibesarkan oleh keluarga dengan latar belakang medis, di mana ayahnya adalah seorang dokter bedah. Sejak masih remaja, Jarvik telah menunjukkan minatnya terhadap rekayasa biomedik dan menciptakan berbagai alat kedokteran sederhana, salah satunya alat stapler (perekat) luka bedah. Jarvik kemudian melanjutkan pendidikannya ke S1 Zoologi, namun dengan komponen mata kuliah pra-kedokteran yang dominan, serta mata kuliah fisika dan teknik. Beliau kemudian mendaftar ke program dokter (MD), namun ditolak karena nilai seleksinya tidak memenuhi, sehingga Jarvik memutuskan untuk mengambil gelar magister biomekanika di Utah. Setelah tamat S2, beliau direkrut oleh Sekolah Kedokteran Universitas Utah untuk mengembangkan jantung buatan sekaligus menyelesaikan pendidikan gelar MD. Beliau mendapatkan gelar dokter pada tahun 1976 dan, berkat perannya sebagai jembatan antara dokter dan ilmuwan rekayasa, berhasil mengembangkan dan mengimplantasi jantung buatan pada seorang pasien pada tahun 1982 [4].

Sumber: Nytimes.com – Robert Jarvik

Sayangnya, saat ini jurang pemisah antara “physicist” (fisikawan) dan “physician” (dokter) terlihat semakin melebar. Kebanyakan praktisi medis menghabiskan waktu mereka berpraktik di klinik atau rumah sakit, sedangkan lulusan STEM bekerja di lapangan kerja yang sangat luas, malah seringkali tidak melibatkan STEM sama sekali. Kurikulum pendidikan di seluruh dunia, yang cenderung mengorbankan “luas” pengetahuan untuk meningkatkan “kedalaman” ilmu, memiliki andil terhadap kurangnya waktu yang dialokasikan untuk mata pelajaran yang menjadi jembatan STEM dan ilmu kesehatan. Misalnya, banyak program studi Ilmu Kedokteran di Indonesia yang hanya mengandung 3 dari 144 jam SKS (satuan kredit semester) untuk fisika-kimia yang digabung, dan sebaliknya, program studi Fisika hanya memiliki 2 hingga 5 SKS untuk peminatan biofisika [5], [6].

Oleh karena itu, tidak heran jika riset bidang kesehatan di Indonesia tumbuh dalam laju yang kurang memadai. Meskipun penulisan ilmiah telah diwajibkan bagi seluruh mahasiswa, baik program sarjana maupun pascasarjana (termasuk profesional), terdapat kesenjangan antara riset yang dilakukan mahasiswa kesehatan versus mahasiswa STEM. Sebagai contohnya, mahasiswa kesehatan umumnya meneliti hubungan kadar ekspresi gen atau protein tertentu terhadap risiko mengalami suatu penyakit tanpa memperhatikan basis fisika dan kimiawinya; sedangkan mahasiswa STEM yang tertarik terhadap dunia kesehatan menciptakan metode intervensi kesehatan baru dengan basis fisika dan kimia yang kuat, namun tidak dapat dilanjutkan karena belum terbukti secara pre-klinis dan klinis.

Situasi ini sangat berbeda dengan AS, di mana rasio dokter per populasinya mendekati 1:400, namun dengan sistem pendidikan kedokteran yang lebih kompleks dan lama [2]. Sekolah kedokteran di AS hanya dibuka untuk lulusan S1 dan biasanya berlangsung 4-5 tahun. Jika dibandingkan dengan Indonesia (5,5 tahun), total durasi pendidikan dari tamat sekolah menengah atas menuju gelar dokter di AS lebih lama, yaitu sekitar 8 tahun. Statistik menunjukkan bahwa rata-rata skor tertinggi Ujian Masuk Sekolah Kedokteran (MCAT) berasal dari jurusan S1 rumpun ilmu Matematika dan S1 rumpun ilmu Fisika dan Astronomi, kontra-intuitif dengan dugaan masyarakat umum Indonesia bahwa jurusan kedokteran diutamakan bagi para penggiat ilmu hayati, seperti biologi [7], [8]. Selain itu, mata kuliah wajib jurusan di AS tidak terlalu banyak, sehingga mahasiswa dapat mengambil mata kuliah apapun sesuai minat masing-masing. Hasilnya, seperti Dr. Jarvik, sekarang banyak dokter di AS yang mampu menghasilkan riset dasar berbasis STEM, translasional, dan klinis secara gradual yang berujung pada penerbitan hak kekayaan intelektual (hak cipta dan paten) yang mencapai tahap komersialisasi global.

Salah satu kabar baik mengenai interaksi multidisipliner ilmu kesehatan dengan STEM adalah tersedianya wadah bagi mahasiswa dari kedua disiplin untuk berkarya bersama, yang ternyata disponsori oleh pemerintah. Kedua wadah tersebut adalah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan berbagai program dalam naungan Kampus Mandiri. PKM memiliki format yang bersifat lebih ilmiah namun dapat diikuti oleh mahasiswa dari latar belakang apapun, sementara Kampus Mandiri memiliki format yang lebih fleksibel namun pelaksanaannya masih relatif terbatas. Sayangnya, partisipasi mahasiswa dalam kedua kegiatan ini masih relatif jarang, di mana statistik menunjukkan hanya sekitar 2,3% mahasiswa sarjana yang mengikuti PKM setiap tahunnya [9], [10]. Terlebih lagi, mayoritas peserta masih belum memanfaatkan kedua sarana ini untuk menjembatani ilmu kesehatan dan STEM.

Alternatif selanjutnya yang dapat diterapkan adalah penerimaan mahasiswa ilmu kesehatan, seperti kedokteran, dari lulusan sarjana STEM dan sebaliknya, program gelar ganda sarjana STEM bagi mahasiswa ilmu kesehatan. Kesempatan seperti ini akan mengajak mahasiswa yang memiliki komitmen untuk bekerja lebih (“extra mile”) sekaligus memberi mereka dua gelar yang sangat dibutuhkan di Indonesia sekaligus. Tentunya, regulasi program tersebut harus memerhatikan kesesuaian kurikulum dan kapabilitas masing-masing mahasiswa. Contohnya, lulusan sarjana teknik kimia yang diterima di S1 Kedokteran dapat melakukan transfer kredit Biokimia, namun tetap harus mengikuti mata kuliah Anatomi dan Fisiologi; begitu pula dengan mahasiswa S1 Ilmu Kedokteran yang ingin mendapat gelar ganda S1 Matematika dapat melakukan transfer kredit Biostatistika, tetapi tetap mengikuti mata kuliah Kalkulus I – III. Dengan demikian, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti program ini akan lulus dalam waktu sekitar 7 tahun, namun mereka memiliki fondasi yang sangat mendalam baik di bidang kesehatan maupun STEM.

Sebagai penutup, penulis merekomendasikan para praktisi kesehatan untuk mulai memahami konsep-konsep dasar STEM, dan sebaliknya para praktisi STEM untuk memelajari konsep-konsep dasar ilmu kesehatan, secara sederhana. Proses pembelajaran ini tidak harus secara formal, namun dapat diikuti dengan menonton seri-seri video sederhana yang tersedia di berbagai kanal video secara rutin, atau dengan mengikuti kursus online massal (MOOC) gratis. Perlahan-lahan namun pasti, penulis yakin bahwa semakin banyak mahasiswa yang terlibat dalam program interdisipliner ilmu kesehatan dan STEM, yang akhirnya bermanifestasi secara konkret dengan meningkatnya parameter indikator sistem kesehatan Indonesia.

Author,

Timotius Wira Yudha

MSc in Nanotechnology for Medicine and Health Care – University of Oxford

REFERENCES

[1] Ikatan Dokter Indonesia, “Peta Anggota IDI,” www.idionline.org, 2021. http://www.idionline.org/about/peta-anggota/ (accessed Dec. 28, 2021).

[2] World Bank, “Physicians (per 1,000 people) | Data,” Worldbank.org, 2019. https://data.worldbank.org/indicator/SH.MED.PHYS.ZS (accessed Dec. 28, 2021).

[3] Worldometer, “Coronavirus toll update: Cases & deaths by country,” Worldometers, 2020. https://www.worldometers.info/coronavirus/.

[4] “Robert K. Jarvik Biography (1946-),” www.faqs.org, 2021. http://www.faqs.org/health/bios/93/Robert-K-Jarvik.html.

[5] Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, “Buku Pedoman PSPD FK UnsriI-2017 Edit 31 Juli 2017 | PDF,” Scribd, 2017. https://www.scribd.com/document/389393046/Buku-Pedoman-PSPD-FK-UnsriI-2017-Edit-31-Juli-2017-doc (accessed Dec. 28, 2021).

[6] Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung, “Kurikulum dan Silabus Program Studi Sarjana Fisika – Fisika ITB,” Kurikulum dan Silabus Program Studi Sarjana Fisika ITB, 2019. https://fi.itb.ac.id/en/kurikulum-dan-silabus-program-studi-sarjana-fisika/.

[7] American Institute of Physics, “MCAT, LSAT and Physics Bachelor’s”, 2013. https://www.aip.org/sites/default/files/statistics/undergrad/mcat-lsat1.pdf.

[8] Association of American Medical Colleges, “MCAT and GPAs for Applicants and Matriculants to U.S. MD-Granting Medical Schools by Primary Undergraduate Major, 2021-2022”, 2021. https://www.aamc.org/media/6061/download.

[9] Ditjen Diktiristek (ditjen.dikti), “Ditjen Diktiristek on Instagram (Picture),” www.instagram.com, 2019. https://www.instagram.com/p/By90XoylD8t/ (accessed Dec. 28, 2021).

[10] Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Statistik Pendidikan Tinggi 2020. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020.

Comments