PPI UK Talks: BRIN Menjawab Masa Depan (Calon) Peneliti Indonesia
by: Nadia Atmaji
Peleburan sejumlah Lembaga penelitian non kementerian dalam satu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan ini memantik wacana publik terutama jagat peneliti Indonesia.
Pasalnya hal ini berakibat sejumlah peneliti diberhentikan dan menimbulkan pertanyaan soal bagaimana BRIN akan memproyeksikan riset dan inovasi dengan gemuknya struktur organisasi.
Berangkat dari isu ini, Persatuan Pelajar Indonesia di Inggris Raya (PPI UK) menggelar diskusi PPI UK Talk Series dengan tajuk “Masa depan (calon) peneliti Indonesia pasca peleburan Lembaga Penelitian ke dalam BRIN di Indonesia” dengan menghadirkan langsung Kepala BRIN Laksana Tri Handoko bersama dengan pembicara lainnya Dr. Surya Mahdi (Senior Lecturer in Strategy and Innovation at the University of Bristol) dan Herlambang P. Wiratraman (Dosen Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia). Diskusi ini dipandu oleh Wakil Ketua PPI UK Amirah Kaca, mahasiswa S3 Universitas Oxford. Acara yang dihadiri sekitar 500 peserta ini dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya dan Irlandia, Desra Percaya, PhD dan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Prof. Khairul.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membuka diskusi dengan pemaparannya terkait ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Peran BRIN dalam hal ini bukan hanya meningkatkan kualitas periset BRIN, karena menurutnya hal itu sudah biasa. “KPI utama BRIN adalah memperbaiki rasio swasta-nasional dalam belanja riset nasional,” ungkap Handoko. Selanjutnya ia menjelaskan empat strategi utama BRIN yakni di bidang regulasi, open platform, mobilitas periset, dan fasilitasi.
Di bidang regulasi, menurutnya BRIN sudah memiliki regulasi yang cukup, bahkan regulasi riset di negara maju sebagian besar sudah diterapkan oleh Indonesia. “BRIN adalah policy maker sekaligus executing agency. Karena kita harus bisa melakukan fasilitasi,” jelas Handoko. Sementara itu dalam hal open platform, infrastruktur yang dimiliki oleh BRIN juga dapat diakses oleh berbagai sektor. Nantinya jika riset berhasil akan mendapatkan lisensi. Inilah yang akan dikembalikan atas investasi saat proses fasilitasi. Lalu yang ketiga yakni mobilitas periset atau manajemen talenta nasional. Menurut Handoko, saat ini belum ada sistem yang jelas dalam pembinaan calon periset. BRIN akan membimbing periset nasional dari tahap paling awal yakni pada saat masih di jenjang mahasiswa S1. “Jadi setelah S1, S2, S3, lalu kita adakan postdoc itu sebelumnya belum pernah ada. Setelah 15 tahun, mereka akan diredistribusi kembali ke kampus,” pungkas Handoko. Menurutnya, periset yang sudah berkarir di BRIN akan memiliki jejaring yang mumpuni. Strategi ke-empat berupa skema fasilitasi dan pendanaan. BRIN akan kolaborasi riset dengan swasta, misalnya research sailing days atau riset di atas kapal laut, uji klinis, uji bibit unggul untuk pertanian dan peternakan, dan lainnya.
BRIN juga menanggapi peleburan Lembaga Eijkman yang menurut Handoko tidak bermasalah. “Lembaga Eijkman ini adalah unit proyek awalnya di bawah ristek, lalu di bawah BRIN. Sebagai unit proyek mendapatkan APBN tentu itu tidak dibenarkan,” ujarnya. Maka, hal ini menimbulkan masalah bagi periset yang merupakan ASN di dalamnya. Untuk periset yang bukan PNS, ada mekanisme yang ditawarkan adalah ada skema ASN, baik PNS maupn PPPK, ada skema asisten periset untuk mahasiswa aktif yakni bisa diberikan bantuan studi S2 S3 by research, di pusat molekular dan biologi Eijkman.
Herlambang sebagai dosen FH UGM sekaligus anggota ALMI memberikan tiga catatan atas peleburan dalam BRIN ini. Pertama, meskipun kini telah menjadi sebuah kesatuan Lembaga pemerintah, periset BRIN perlu tetap mempertahankan independensi. Independensi ini menjadi penting kebebasan individual dan otonomi institusi akademik sebaiknya tidak ter-birokratisasi, agar tidak ada kebuntuan. Kedua, perlu adanya pendekatan yang berbeda antar tiap sektor penelitian. “Sistem yang digunakan tidak bisa seragam tapi harus mengadopsi plural system yang ada di lembaga-lembaga riset itu,” ujar Herlambang. Yang ketiga, memastikan ilmuwan atau peneliti itu diberi jaminan perlindungan dan negara harus hadir untuk memastikan situasi yang memperkuat iklim produksi pengetahuan. “Tantangan bagi akademisi di indonesia itu rupanya kompleks. Meneguhkan prinsip kebebasan akademik itu sangat mendasar untuk iklim pengetahuan yang lebih maju,” pungkas Dr. Herlambang.
Dr. Surya Mahdi sebagai dosen di bidang strategi dan inovasi di Bristol, Inggris membagikan pengalamannya sebagai periset di Inggris. Ia menjelaskan bahwa kebijakan riset bergantung pada yang berkuasa. Dari partai buruh, mengedepankan inklusivitas, dengan performa riset yang tinggi, sehingga pajak lebih tinggi dan harus lebih banyak dari sektor privat yang mendanai. Sementara itu dari sisi konservatif juga menginginkan performance tinggi tetapi tidak ingin meningkatkan tax. Keduanya mengandalkan kompetisi dan meningkatkan kerjasama. “Ada sistem yang dibuat pemerintah dimana peneliti sebagai entrepreneur memilih kalau menang dapat rewards. Tapi kalau kalah ga akan bangkrut karena ada safety net,” ujar Dr. Surya.
Setelah pemaparan antar para pembicara, moderator membuka sesi tanya jawab dan pertanyaan seputar independensi dan birokratisasi banyak ditanyakan oleh para peserta. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menegaskan bahwa BRIN tidak dapat diintervensi dan justru ia ingin melakukan de-birokratisasi. Ia mengajak seluruh mahasiswa peneliti, utamanya yang telah menempuh S3 untuk bergabung di program post-doc dan berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas riset Indonesia. Di akhir acara, panelis penanggap dari PPI Jepang, Jerman dan Amerika memberikan apresiasi atas terselenggaranya acara dan turut berpartisipasi aktif dalam memberikan pandangan terkait iklim riset di negara tempat menempuh studi.