internet for goods feature image

Bangsa yang Tak Bisa Move-on? Berkenalan dengan Kajian Trauma Pascakolonial

Sep 18, 2021

Kajian trauma sebagai sebuah bidang ilmu sudah berkembang sedemikian rupa hingga memengaruhi ranah politik, sosial, dan budaya. Bidang ini berkembang pesat pertama-tama karena peristiwa genosida kelompok Yahudi di Eropa pada masa Perang Dunia II. Yahudi diaspora yang tersebar di berbagai belahan dunia barat kemudian menjadi fokus kajian trauma karena beban trauma yang ditanggung oleh mereka.

Adalah Cathy Caruth, seorang sarjana kajian trauma dari Amerika Serikat yang menjadi penggerak bidang keilmuan ini. Bersamanya ada sederetan para sarjana kajian trauma seperti Shoshana Felman, Geoffrey Hartman dan Kai Erikson dan lainnya. Mereka sebagian besar datang dari latar belakang kajian sastra yang melihat bagaimana para sastrawan/ti menuliskan peristiwa traumatik dalam karya sastra.

Trauma adalah memori horor yang menghantui penyintas sampai berpengaruh pada kondisi fisik dan mentalnya. Di satu sisi, trauma yang mendalam ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengungkapkannya, inilah momen di mana bahasa gagal di hadapan trauma. Namun di sisi lain, trauma healing bisa terjadi kalau si penyintas mampu mengungkapkan trauma tersebut. Bagi Caruth, inilah paradoks trauma yang mengawali berbagai kajian trauma di seluruh dunia. Ia sendiri mendasarkan kajiannya pada para veteran perang Vietnam yang hidup di Amerika Serikat dan para penyintas Holocaust Yahudi yang hidup di sana juga.

Dominasi para sarjana kajian trauma dari barat dalam bidang ini lama-kelamaan membuat gerah para sarjana pascakolonial. Kenyataan bahwa Holocaust Yahudi Modern dan perang Vietnam adalah momen menyakitkan dalam sejarah manusia tak bisa dipungkiri, tapi momen sejarah kolonialisasi berbagai bangsa juga meninggalkan trauma besar dalam kehidupan banyak bangsa. Inilah yang mendorong para sarjana tersebut untuk menggagas kajian trauma pascakolonial. Patokan utamanya adalah bahwa bangsa pascakolonial mempunyai karakteristik masyarakat yang berbeda dari dunia barat dan sejarah kolonialisme membawa perubahan yang kompleks dalam cara memandang trauma. Kesadaran ini yang berusaha diangkat oleh ISF kluster social development, art, and humanities pada forum diskusi online yang sukses diselenggarakan pada Sabtu, 11 September 2021 pukul 10:00 – 11:30 BSTdengan narasumber Yan Okhtavianus Kalampung, seorang mahasiswa PhD pada kajian teologi dan keagamaan, University of Leeds. Diskusi dimoderasi oleh Annisa Sekaringrat, mahasiswi master migrasi global, UCL.

Karakteristik dan Kritik Kajian Trauma Pascakolonial

Kajian trauma pascakolonial memiliki beberapa karakteristik. Pertama, kajian trauma pascakolonial melawan generalisasi teori dan pemikiran mengenai trauma yang semata berdasarkan konteks Eropa dan Amerika. Kolonialisme meninggalkan luka yang besar dalam masyarakat pascakolonial dan itu memengaruhi berbagai sendi kehidupan yang penting untuk diperhatikan. Kedua, kajian trauma pascakolonial mempertimbangkan perbedaan budaya yang memengaruhi cara individu dan masyarakat merespon peristiwa traumatik. Ketiga, kajian trauma pascakolonial melawan kecenderungan kajian trauma dari barat yang bersifat individual. Tanpa memungkiri bahwa terdapat juga trauma individual dalam masyarakat pascakolonial, para sarjana pascakolonial mempertimbangkan secara serius kenyataan bahwa terdapat juga trauma yang bersifat kolektif, seperti misalnya trauma dari penjajahan yang lama. Keempat, kajian trauma pascakolonial melihat pentingnya trauma healing yang mengakar dalam ritual budaya lokal. Banyak budaya lokal bangsa pascakolonial yang di dalamnya mengandung unsur pemulihan trauma baik sifatnya individual maupun komunal. Inilah yang menjadi fokus para sarjana kajian trauma pascakolonial.

Bidang keilmuan ini bukannya bebas dari kritik. Salah satu yang paling lantang menyampaikan kritik adalah seorang Yahudi dari Amerika Serikat, Michael Rothberg yang mengatakan bahwa perjuangan sarjana trauma pascakolonial perlu ada dalam ruang dialog. Beberapa sarjana pascakolonial mengangkat isu identitas otentik dan khas masyarakat pascakolonial dengan mencoba berkompetisi dengan kajian trauma dari Barat. Padahal seperti kata Michael Rothberg, justru melalui kolaborasi dengan pengetahuan dari Barat, sarjana pascakolonial akan mampu mengangkat kajian trauma pascakolonial. Kompetisi saling mengalahkan ala zero sum game ini mengingkari kenyataan bahwa masyarakat pascakolonial adalah bangsa yang hybrid. Salah satu dampak kolonialisme yang tak bisa dielakkan adalah bercampurnya berbagai budaya karena perjumpaan lintas negara tersebut. Karena itu sarjana trauma pascakolonial perlu sadar dengan kondisi ini.

Kajian Trauma Pascakolonial dalam Konteks Indonesia

Pertama, trauma pascakolonial di dalam konteks Indonesia dapat diamati dari beragam fenomena sosial yang terjadi dimana perspektif terhadap kolonial pun beragam. Sebagai contoh, di suatu daerah, ada warga negara Indonesia yang bangga berbahasa belanda, bangga mengadopsi “budaya barat”, dan menganggap bahwa kolonialisasi membawa kemajuan. Hukum Indonesia yang melanjutkan peninggalan Belanda dan aliran Kristen dari misionaris Belanda pun menunjukkan belum move-on nya Indonesia dari penjajahan.

Kedua, dalam konteks Indonesia, kita juga bisa melihat banyaknya upaya trauma healing yang dilakukan masyarakat melalui ritual atau budaya lokal baik yang sifatnya individual maupun komunal. Misalnya, secara individual, masyarakat ada yang melakukan ritual trauma kekerasan domestik terhadap anak. Orang tua memukulkan tanaman tertentu kepada si anak, dan kemudian di akhir ritual memberikan kesempatan kepada si anak untuk berbicara. Momen anak ini bicara menjadi puncak dari trauma healing, karena ketika “korban” mampu membicarakan traumanya adalah wujud bahwa proses penyembuhan trauma sedang berjalan. Di Palu, masyarakat Bali yang berada di daerah tersebut juga melakukan ritual tolak bala setelah terjadinya tsunami. Di daerah Jawa, kita juga terbiasa mendengar ritual tolak bala, meskipun semakin berkurang di era globalisasi saat ini. Contoh-contoh ini menggambarkan beberapa upaya penyembuhan trauma yang ada dalam ritual budaya lokal Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, semangat untuk mengangkat kembali budaya lokal sebagai bagian dari kajian pemulihan trauma pascakolonial seperti “gayung bersambut” dengan tren kajian “kearifan lokal” yang marak di tanah air. Hanya saja, kenyataan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang tidak lagi menghidupi kearifan lokal tersebut tentu perlu diperhatikan dengan serius. Percampuran budaya tentu melahirkan persoalan traumatis yang berbeda. Budaya leluhur bisa menjadi inspirasi, tapi tentu tidak bisa sepenuhnya dipakai dalam kemurnian. Perlu ada dialog terus menerus dengan berbagai kebudayaan lain yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kebudayaan kontemporer Indonesia. Adanya gerakan masyarakat Adat juga memerlukan pengakuan sebagai bagian dari keberagamaan masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, kajian trauma pascakolonial ini membuka kemungkinan untuk mengangkat budaya lokal, tapi tetap dibarengi dengan dialog.

“Dalam konteks Indonesia, semangat untuk mengangkat kembali budaya lokal sebagai bagian dari kajian pemulihan trauma pascakolonial seperti “gayung bersambut” dengan tren kajian “kearifan lokal” yang marak di tanah air.”

Selanjutnya, apakah bangsa Indonesia juga menyadari adanya trauma pascakolonial, mengingat kolonisasi penjajah selama lebih dari 350 tahun? Apakah bangsa Indonesia sudah move-on dari trauma pascakolonial? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi poin pemantik diskusi ISF.

Hasil Diskusi ISF

Sejauh ini dapat kita lihat bahwa kolonialisme juga telah melunturkan budaya lokal (ritual) di Indonesia. Kemudian, muncul perlawanan dari masyarakat adat yang ingin memperkenalkan kembali budaya lokal. Namun, sarjana pascakolonial tidak ingin melihat pertarungan budaya ini sebagai hal yang hitam-putih, apalagi di zaman globalisasi seperti sekarang ini. Percampuran budaya juga terlihat ketika para founding fathers merekonstruksi budaya kolektif masyarakat, misalnya budaya mengheningkan cipta saat upacara bendera dan juga tabur bunga yang sebenarnya juga diadopsi dari budaya Eropa. Artinya, trauma healing bisa berasal dari ritual yang masih bertahan dan juga hasil percampuran dengan budaya lainnya. Dampaknya, ada kebingungan terkait identitas sebagai sebuah bangsa, kita memang terinspirasi dari masa lalu, tetapi tidak menutup kemungkinan terinspirasi dari budaya bangsa lain. Merujuk Max Lane, Indonesia adalah unfinished nation, yang artinya terus berproses.  

Salah satu fenomena sosial dalam masyarakat Indonesia yang mungkin bisa diteliti lebih lanjut untuk membuktikan adanya unsur trauma pascakolonial adalah rendahnya rasio pajak (tax ratio) Indonesia akibat dari rendahnya moral pajak (tax morale) bangsa Indonesia. Sifat ekstraktif (baca: pengisapan) para penjajah terhadap sumber daya, misalnya monopoli faktor produksi melalui cultuur stelsel disinyalir telah meninggalkan trauma mendalam dan antipati pajak di kalangan bangsa Indonesia. Saking dalamnya suatu trauma, trauma itu makin sulit diungkapkan, bahkan sampai tidak sadar telah mengalami trauma. Rezim hukum Indonesia yang masih menganut hukum kolonial juga menjadi bukti belum move-on nya bangsa Indonesia dari penjajah. Sisa-sisa artefak peninggalan penjajah yang masih digunakan, bahkan sebagai tempat meng-exercise power turut memperkuat premis ini.

Dari sisi akademis, perlu diperhatikan otoritas yang bicara dalam literatur ketika membicarakan konteks Indonesia. Masih banyak peneliti yang menerapkan objectivism dalam meneliti konteks sosial, termasuk dalam disiplin pascakolonial, sedangkan penerapan sentimen, emosi dan pengalaman pribadi dalam metodologi masih dianggap sebelah mata. Hal ini disebabkan hegemoni abad pencerahan yang bebarengan dengan berkembangnya disiplin pascakolonial. Selain itu, Indonesia semestinya tidak lagi terlalu fokus pada waktu penjajahan, namun perlu memperhatikan juga tendensi-tendensi kolonialisme.

Closing Remarks

Narasumber berharap kelompok-kelompok diskusi ISF terus berjalan karena sangat bermanfaat sebagai tempat diskusi dan belajar. Untuk meningkatkan literasi pascakolonial bagi bangsa Indonesia sendiri, para sarjana diharapkan untuk menulis dalam Bahasa Indonesia, dan menunjukkan bahwa ada multiple intelligence dalam diskusi ilmiah – tidak hanya didominasi oleh “sarjana Barat”.

Comments