Perkuat Industri Manufaktur jadi Solusi agar Indonesia Naik Kelas
9 Juli 2021
“Kegiatan ISIC ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali strategi agar Indonesia bisa kembali naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas, dan bahkan naik kelas menjadi negara maju mengejar visi Indonesia 2045. Kami percaya bahwa solusinya adalah penguatan kembali sektor manufaktur, atau kita sebut dengan reindustrialisasi. Penguatan ini mesti ditopang oleh riset dan inovasi,” ujar Gatot Subroto Ketua PPI UK
Beberapa hari yang lalu, Bank Dunia mengeluarkan rilis mengenai klasifikasi kelompok negara-negara di dunia berdasarkan tingkat ekonominya. Dari publikasi tersebut, Indonesia diturunkan dari kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle income) ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income).
Kejadian ini menjadi salah satu bahasan utama dalam rangkaian kegiatan Indonesian Scholars International Convention (ISIC) ke 20 (20th ISIC) yang diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Inggris Raya (PPI UK) Jumat 9 Juli 2021 di London. Disiarkan secara virtual, acara tersebut dihadiri oleh lebih dari 500 orang pelajar Indonesia dari seluruh dunia.
Ketua PPI UK, Gatot Subroto, mengatakan bahwa turunnya status Indonesia sudah diprediksi mengingat pandemi COVID-19 yang menghantam ekonomi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. “Kegiatan ISIC ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali strategi agar Indonesia bisa kembali naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas, dan bahkan naik kelas menjadi negara maju mengejar visi Indonesia 2045. Kami percaya bahwa solusinya adalah penguatan kembali sektor manufaktur, atau kita sebut dengan reindustrialisasi. Penguatan ini mesti ditopang oleh riset dan inovasi,” ujar Gatot yang juga merupakan kandidat doktoral di University College London.
Sesi diskusi panel ISIC menghadirkan para pakar yang mewakili akademisi, pemerintah, dan praktisi. Mereka adalah Amalia Adininggar, Deputi Ekonomi Kementerian Bappenas, Agus Wirakusumah, Komisaris Utama Perusahaan Baterai Indonesia, Andy Sumner, profesor pembangunan internasional di King’s College London, serta Arief Anshory Yusuf, profesor ekonomi di Universitas Padjadjaran,. Diskusi tersebut dipandu oleh Yorga Permana, mahasiswa doktoral di London School of Economics yang juga menjadi perwakilan PPI UK.
Strategi Industrialisasi di Masa Pandemi
Amalia Adininggar mengatakan bahwa sebelum pandemi pemerintah telah memproyeksikan bahwa Indonesia akan naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi di tahun 2036. “Sekarang kita butuh dua tahun waktu tambahan agar Indonesia bisa mencapai nilai pendapatan yang sama dengan kondisi sebelum pandemi,” ujar Amalia.
Selama pandemi ini kecepatan pemulihan industri berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. “Di Indonesia, pemulihan ekonomi tercepat terjadi di industri berbasis logam. Oleh karena itu hilirisasi sumber daya alam tambang menjadi produk bernilai tambah tinggi menjadi keharusan untuk memperkuat resiliensi industri di masa krisis,” tambah Amalia.
Sejalan dengan itu, Agus Wirakusumah menekankan pentingnya hilirisasi pertambangan sehingga berorientasi kepada ekspor produk berbasis teknologi tinggi. “Kita tidak bisa hanya menggali dan mengekspor bahan mentah. Hilirisasi tambang diperlukan menjadi produk yang lebih kompleks, seperti komponen elektronik, produk otomotif, hingga ke industri penerbangan,” kata Agus.
Untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, Amalia kemudian menekankan perlunya Indonesia belajar dari Korea Selatan. “Korea hanya butuh 27 tahun untuk melompat dari negara berpendapatan menegah menjadi negara berpendapatan tinggi. Faktor utamanya adalah sumber daya manusia, inovasi, industrialisasi, dan keterbukaan pasar,” papar Amalia.
“Pandemi ini menjadi momentum kunci. Ada enam strategi utama yang dilakukan oleh pemerintah terkait untuk membuat kita naik kelas dan keluar dari jebakan pendapatan menengah,” tambah Amalia. Keenam strategi tersebut adalah penguatan sumber daya manusia, fokus kepada ekonomi hijau, perbaikan konektivitas rantai pasok dalam negeri, peningkatan produktivitas industri, transformasi digital, dan pemindahan ibu kota baru untuk menyeimbangkan pembangunan antar daerah.
Industrialisasi Kurangi Ketimpangan Ekonomi
Andy Sumner dan Arief Anshory Yusuf mengingatkan bahwa Indonesia naik kelas tidak cukup hanya dimaknai oleh pertumbuhan ekonomi semata. “Kita juga perlu memperhatikan aspek inklusivitas, bagaimana kue ekonomi dapat terdistribusi secara adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat,” ujar Arief. Dalam paparannya, Andy dan Arief menyampaikan hasil penelitian mereka tentang bagaimana transformasi struktural Indonesia selama 25 tahun terakhir mempengaruhi ketimpangan ekonomi.
“Sebelum krisis ekonomi, pembangunan Indonesia ditopang oleh industrialisasi, kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi terus mengalami peningkatan. Hasil penelitian kami menemukan bahwa tren ini berbanding lurus dengan turunnya ketimpangan ekonomi,” ujar Arief. Namun, saat ini ketimpangan ekonomi justru meningkat sejalan dengan turunnya kontribusi sektor industri dan meningkatnya jumlah pekerja di sektor jasa. “Artinya jika ke depannya kita hanya mengandalkan sektor jasa tanpa mendorong industrialisasi, ketimpangan akan semakin besar,” tambah Arief yang juga merupakan profesor tamu di King’s College London.
Andy Sumner menawarkan beberapa kebijakan yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih inklusif di masa depan. “Pertama, sektor jasa yang penting bagi kemajuan Indonesia ke depannya adalah sektor jasa bernilai tambah tinggi, seperti sektor digital, keuangan, dan jasa perusahaan. Tapi pertumbuhan sektor ini perlu didukung oleh peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan sumber daya manusia. Jika tidak, manfaat sektor ini hanya dirasakan segelintir orang dan malah membuat ekonomi semakin timpang,” papar Andy.
Kedua, kebijakan yang perlu didorong adalah reindustrialisasi yang terbukti efektif menurunkan ketimpangan dan menciptakan lebih banyak pekerjaan layak dibandingkan pekerjaan di sektor jasa. “Penguatan kembali sektor manufaktur dapat mengurangi ketimpangan. Oleh sebab itu diperlukan kebijakan industri yang aktif, seperti subsidi serta dukungan inovasi dan teknologi. Tentu ini tidak mudah. Indonesia perlu mencari sektor industri unggulan yang bisa bersaing dengan negara lain,” pungkas Andy.
“Kita juga perlu memperhatikan aspek inklusivitas, bagaimana kue ekonomi dapat terdistribusi secara adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat”
Prof. Arief Anshory Yusuf