Mencari Jalan Keluar Ketimpangan Indonesia

Aug 23, 2021

Kesenjangan ekonomi di Indonesia masih berkutat di angka 0.381 (Semester I 2020, data BPS). Trend kesenjangan ini naik apabila dibandingkan dengan tahun 1990 saat Gini Ratio masih di angka 0.33. Indonesia semestinya mengkaji dengan seksama upaya yang paling sesuai untuk mengurangi ketimpangan dengan berbagai keterbatasan yang ada. Upaya tersebut bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah, namun juga bebagai pemangku kepentingan serta masyarakat pada umumnya. Jalan menuju kesetaraan ekonomi masih sangat panjang, namun kita harus mendukung serta turut berkontribusi pada langkah-langkah kecil untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut data World Bank, Indonesia kini naik kelas ke tingkat upper-middle class, dengan pendapatan per kapita US$4.050 pada 2019. Sayangnya, kesenjangan ekonomi di Indonesia masih berkutat di angka 0.381 (Semester I 2020, data BPS). Trend kesenjangan ini naik apabila dibandingkan dengan tahun 1990 saat Gini Ratio masih di angka 0.33. Upaya meminimalisir ketimpangan ekonomi sejatinya selalu menjadi fokus utama berbagai organisasi intenasional dan para ekonom. Dalam tulisan ini, akan diulas pilar-pilar pertumbuhan yang inklusif yang diusulkan oleh OECD serta sajauh apa pelaksanaannya di Indonesia. Setelah itu, kita akan menilik beberapa pendekatan yang diutarakan para ekonom dunia tentang upaya pengentasan ketimpangan.

Berdasarkan Inclusive Growth Framework yang dikembangkan OECD, terdapat tiga pilar yang harus difokuskan. Pilar pertama adalah investasi pada orang dan daerah tertinggal, yang salah satunya menyoroti pendidikan anak usia dini (PAUD) yang berkualitas. Secara data, terdapat hampir 33juta anak usia dini di Indonesia. Meski demikian, hanya 27,68% yang pernah atau sedang mengikuti PAUD (BPS, 2020). Jumlah institusi PAUD yang ada di berbagai provinsi, tidak dapat mengakomodir ledakan jumlah anak usia dini, terutama di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Berdasarkan Laporan Keuangan Kemendikbud 2019, hanya 4,8% dari anggaran tahunan yang dialokasikan untuk pengembangan PAUD dan pendidikan masyarakat.

Pilar kedua, yakni dukungan bagi dinamisme bisnis dan pasar tenaga kerja inklusif menekankan perlunya inovasi berbasis luas dan difusi teknologi serta akses ke pekerjaan yang berkualitas, terutama bagi perempuan. Di Indonesia, isu-isu pilar kedua ini perlu menjadi perhatian. Berdasarkan Global Innovation Index 2019, Indonesia menempati peringkat 85 dari 129 negara dengan kelemahan terbesar pada ekosistem peraturan serta rendahnya pengetahuan para pekerja. Di sisi teknologi, anggaran pembangunan teknologi informasi dan komunikasi masih terbilang sangat kecil, yakni sekitar 6%, dari anggaran infrastruktur secara keseluruhan (APBN, 2021). Tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal mencapai lebih dari 70% (World Bank, 2017). Untuk isu keterlibatan gender minoritas, jumlah perempuan yang memiliki akses ke pasar tenaga kerja tidak lebih dari 50% dari total populasi produktif sedangkan laki-laki berkisar di angka lebih dari 80% (Buku Statistik Gender Tematik, 2016). Berita baiknya, pemangku kebijakan di Indonesia telah menyadari pentingnya inovasi dan berupaya untuk membangun sebuah Sistem Inovasi Nasional yang menghubungkan akademisi, industri, dan pemerintah untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian nasional.

Di pilar terakhir, OECD menekankan pentingnya memiliki pemerintahan yang efisien dan responsif melalui kebijakan yang selaras, distribusi di awal desain kebijakan, serta evaluasi dampak pada inklusivitas dan pertumbuhan. Secara hitam di atas putih, Indonesia memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah di tingkat nasional yang tiap programnya didistribusikan ke unit pelaksana program, yakni kementerian terkait. Meski demikian, realisasi pencapaian program masih belum sepenuhnya transparan dan tidak terdistribusi langsung ke unit pelaksana.

 

Kesejahteraan ekonomi diawali dengan institusi yang inklusif, demokratis, melibatkan banyak orang dalam pengambilan keputusan, dan memberi insentif bagi inovasi dan ide yang cemerlang.

Dalam upaya mengurangi ketimpangan, ekonom dunia menuangkan buah pikirnya melalui berbagai literatur. Pemenang nobel Amartya Sen dalam Development As Freedom menggarisbawahi pentingnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebebasan berpolitik dan sosial. Menurutnya, aspek utama dari ekonomi adalah kesejahteraan manusia. Pendapat ini sejatinya telah sejalan dengan filosofi Indonesia, yakni Pancasila, yang mengakui pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Meski demikian, demokrasi dan kesejahteraan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.

Pemenang Nobel lain, Muhammad Yunus, dalam bukunya Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism (2009) mencetuskan ide social business, yakni bisnis yang berorientasi pada tujuan sosial tertentu. Grameen Bank, contohnya, telah memberi $6milyar pinjaman pada masyarakat miskin Bangladesh. Faktanya, perkembangan social enterprise di Indonesia telah cukup pesat dalam sepuluh tahun terakhir dibuktikan dengan menjamurnya crowdfunding serta model usaha yang berfokus pada dampak sosial dan lingkungan.

Menilik pendapat Daren Acemoglu dan James Robinson yang disampaikan melalui buku Why Nations Fail: the Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2013), kesejahteraan ekonomi diawali dengan institusi yang inklusif, demokratis, melibatkan banyak orang dalam pengambilan keputusan, dan memberi insentif bagi inovasi dan ide yang cemerlang. Sebaliknya, institusi yang ekstraktif, membiarkan petingginya mengeksploitasi baik kekayaan, SDA, dan SDM, cenderung lebih tertinggal. Pendapat ini memaksa Indonesia berkaca pada berbagai kasus eksploitasi kekayaan alam oleh berbagai pihak. Sejatinya bentuk ekstraksi seharusnya dibarengi dengan kontribusi terhadap lingkungan, masyarakat sekitar, dan negara dan diawasi oleh institusi yang kuat dan demokratis.

Selain itu, pasangan yang meraih Nobel ekonomi di tahun 2019 lalu, Abhijit Banarjee dan Esther Duflo, mengemukakan bahwa untuk memberantas kemiskinan, pemerintah harus tahu, intervensi yang tepat dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam buku mereka, Good Economics for Hard Times (2019), mereka menyampaikan tentang bagaimana bantuan langsung tunai sejatinya masih berguna untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak hanya itu, mereka juga menekankan pentingnya pajak sebagai sebuah alat untuk redistribusi dalam sebuah negara. Menurut mereka, ekonomi tidak bisa hanya berfokus pada angka pertumbuhan, karena sesungguhnya pertumbuhan didorong oleh aspek lain seperti psikologi, sosiologi, dan politik. Ini mencerminkan pentingnya pemerintah mempertimbangkan berbagai sisi dalam pembuatan kebijakan.

Sebuah ide lebih dramatis datang dari ekonom asal Perancis, Thomas Piketty, yang selalu berkomentar tajam tentang meningkatnya ketimpangan ekonomi dunia di beberapa dekade terakhir. Dalam literaturnya Capital in the Twenty-First Century (2014) ia mengusung sebuah solusi berupa pajak kekayaan (wealth tax) yang dikenakan pada masyarakat dengan level pendapatan tertinggi di masyarakat. Meskipun telah diterapkan dengan berbagai bentuk di beberapa negara maju, konsep ini belakangan baru mulai dikaji lebih mendalam oleh OECD sebagai salah satu upaya mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Di Indonesia, pajak kekayaan memang belum dikenal. Meski demikian, Indonesia punya pajak pendapatan yang progresif yang wacananya akan ditingkatkan tarifnya di masa mendatang.

Dengan beragam cara memberantas ketimpangan yang dicontohkan organisasi internasional, peneliti, dan ekonom, Indonesia semestinya mengkaji dengan seksama upaya yang paling sesuai dengan berbagai keterbatasan yang ada. Upaya tersebut bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah, namun juga bebagai pemangku kepentingan serta masyarakat pada umumnya. Jalan menuju kesetaraan ekonomi masih sangat panjang, namun kita harus mendukung serta turut berkontribusi pada langkah-langkah kecil untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis mengambil studi Master of Public Administration di LSE.

Comments