10 Alasan Mengapa Revolusi Industri Terjadi di Inggris

Aug 23, 2021

by: Muhammad Yorga Permana

Salah satu sumbangan terbesar Inggris bagi peradaban modern adalah sebagai tempat lahirnya Revolusi Industri (1750-1850). Revolusi Industri adalah titik infleksi bagi kemanusiaan. Selama bermilenium-milenium lamanya ekonomi dan populasi dunia tumbuh stagnan. Dalam tiga ribu tahun terakhir pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 0,01% per tahun. Setelah revolusi industri, dunia berubah. Manusia semakin produktif. Taraf hidup meningkat, membuatnya semakin sejahtera. Waktu luang bertambah, membuatnya terus-menerus berinovasi menciptakan produk dan jasa lain untuk memenuhi kepuasan diri. Yang menarik, sejak saat itu progres kemanusiaan tumbuh eksponensial, meski tentu selalu ada konsekuensi di balik modernitas.

Tanpa adanya revolusi industri pertama, tidak akan ada yang kedua (listrik dan produksi massal), ketiga (internet dan komputer), maupun keempat (AI dan internet of things). Dari sana kita kemudian memaknai dua aksioma. Pertama, pertumbuhan ekonomi jangka panjang selalu ditopang oleh teknologi dan inovasi. Kedua, pengetahuan adalah akumulasi sejarah yang path-dependence sehingga Newton menganalogikannya dengan istilah “bahu raksasa”.

Menurut Carlota Perez, ada dua ciri utama revolusi teknologi. Pertama, ia ditopang oleh jejaring inovasi lintas sektor yang saling mempengaruhi dan melengkapi (interdependen). Kedua, ia mentransformasi sistem ekonomi dan tatanan masyarakat secara umum.

Gambar 1 – Pendapatan per kapita dalam sejarah kemanusiaan, sumber gambar Bank of England

https://www.bankofengland.co.uk/knowledgebank/how-has-growth-changed-over-time

 

Berbeda dengan statistika dan permodelan, kita tidak bisa menguji efek counterfactual dari sejarah dengan instrumen ekstrapolasi. Pertanyaan “bagaimana jika” (what-if) bisa jadi hanya membuang-buang waktu. Oleh karena itu, pertanyaan semacam ini menjadi tidak relevan: “Jika James Watt tidak ada, apakah akan ada orang lain yang menemukan mesin uap?” atau “Jika situasi Inggris saat itu tidak kondusif, apakah revolusi industri akan lahir di belahan dunia yang lain?”.

Yang lebih penting dari sejarah adalah bagaimana kita mengambil pelajaran dari setiap episode kehidupan umat manusia. Pertama, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kedua, agar kita bisa belajar mengkontekstualisasikan faktor-faktor keberhasilan di masa lalu dengan era kekinian.

Ada banyak buku dan karya ilmiah yang membedah revolusi industri dari ragam perspektif keilmuan. Setidaknya ada empat buku yang saya sarikan dalam tulisan singkat ini. Pertama, buku sejuta umat “Why Nations Fail” dari Acemoglu-Robinson yang mengglorifikasi makna institusi inklusif. Kedua, buku sejarawan Joel Mokyr “The Lever of Riches” yang sangat detil membahasnya dari perspektif sejarah. Ketiga, buku “Technology Trap” dari Karl Benedict-Frey asal Oxford yang banyak menulis tentang masa depan pekerjaan. Terakhir, buku “The Power of Creative Destruction”, ditulis oleh Philipe Aghion seorang Schumpeterian yang memformulasikan peran inovasi dalam model baku pertumbuhan ekonomi secara matematis.

Setidaknya, ada 10 faktor yang menjelaskan mengapa revolusi industri terjadi di Inggris, bukan di negara lain; mengapa terjadi di fase 1750-1850, bukan di tahun-tahun sebelumnya; dan mengapa dampaknya signifikan bagi peradaban dunia dan menginspirasi banyak penemuan di negara lain. Tentu amat sulit menjustifikasi kausalitas (sebab-akibat) dalam sejarah. Kita hanya bisa melihat setiap potongan peristiwa sebagai sebuah puzzle yang berkorelasi satu sama lain tanpa bisa membuktikan kejadian mana yang menjadi penyebab utama kejadian lainnya.

Tanpa adanya revolusi industri pertama, tidak akan ada yang kedua (listrik dan produksi massal), ketiga (internet dan komputer), maupun keempat (AI dan internet of things).

Berikut kesepuluh faktor tersebut

  1. Institusi inklusif yang plural, ditandai dengan pemindahan kekuasaan dari monarki kepada rakyat (Glorious Revolution). Parlemen diwakili oleh beragam golongan yang punya kepentingan masing-masing. Dampaknya demokrasi bertumbuh, tidak lagi terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang hanya menguntungkan pihak kerajaan, para rente, dan segelintir orang.
  2. Penghargaan atas hak kepemilikan dan hak kekayaan intelektual. Melalui kebijakan paten, inventor diberi hak mengeksploitasi temuannya dengan skema monopoli temporer selama 14 tahun. Tapi di sisi lain inventor wajib mempublikasikan teknologinya yang kemudian bisa disitasi oleh inventor lain untuk menciptakan temuan berikutnya. Dampaknya terbangun kompetisi yang sehat berbasis insentif.
  3. Inovasi berbagai sektor yang berkaitan satu sama lain. Aktor utama revolusi industri tidak bisa hanya dialamatkan kepada James Watt penemu mesin uap. Lebih dari itu, revolusi industri juga disebabkan oleh inovasi di bidang metalurgi (inovasi proses yang menurunkan harga besi), tekstil (penemuan mesin pemintal yang menggantikan peran manusia), penerbangan (penemuan balon terbang), dan sebagainya.
  4. Budaya entrepreneurship dan mental bertumbuh. Gagasan inovatif saja tidak cukup, mesti ditopang oleh ketangguhan (perseverance) dan ketangkasan (dexterity). Sebagai contoh, perlu waktu 11 tahun bagi James Watt dari tahap penemuan hingga komersialisasi produk mesin uap. Yang perlu diingat talenta ini tidak muncul tiba-tiba (exogenous factor), tapi hadir sebagai respon atas kesempatan yang berbasis insentif dan kebebasan yang tidak represif.
  5. Perpaduan sains dan ilmu terapan. Di fase tersebut terjadi pergeseran tren dari practical knowledge (how it works) ke theoretical knowledge (why it works). Pemikiran saintifik berbasis “mengapa” ini menghasilkan inovasi terobosan (breakthrough) karena menggabungkan aspek sains dasar dan rekayasa ilmu terapan (engineering).
  6. Akses pengetahuan yang semakin mudah dan difusi pengetahuan yang semakin luas, ditopang oleh menurunnya ongkos percetakan, ongkos pos, dan tumbuhya industri ensiklopedia. Terjadi pertukaran pengetahuan sehingga inovasi tidak dimulai dari nol. Akumulasi pengetahuan terbangun dari waktu ke waktu ibarat kita berdiri di atas bahu raksasa.
  7. Kebijakan proteksi agresif terhadap industri dalam negeri terutama tekstil. Ragam kebijakan atas nama nasionalisme melindungi pengusaha lokal dari ancaman globalisasi dan impor produk asing. Pelaku utama industri tetap diserahkan kepada swasta, bukan pemerintah (pemerintah tidak “pick the winner” untuk perusahaan tertentu). Inovasi kemudian banyak lahir di sektor yang dilindungi tersebut karena tetap terjadi kompetisi sehat di dalamnya.
  8. Aglomerasi ekonomi kota, terjadi eksodus besar-besaran urbanisasi (ke London, Manchester, dll). Jika dalam ekonomi mikro kita mengenal law of diminishing return, dalam konteks aglomerasi manusia sebagai makhluk sosial justru sebaliknya: terjadi law of increasing return. Agregat manfaat dari aktivitas ekonomi yang terkonsentrasi di suatu kota justru semakin besar karena rendahnya ongkos transportasi, melimpahnya talenta, ketersediaan rantai pasok, dan pengetahuan yang semakin mudah diakses (knowledge spillover).
  9. Revolusi keuangan, salah satunya ditandai oleh pendirian Bank of England. Dampaknya akses keuangan jadi lebih luas, termasuk juga skema pinjaman bagi para inventor. Perlu diingat bahwa riset dan inovasi selalu membutuhkan dukungan pendanaan yang tidak sedikit.
  10. Revolusi transportasi terutama kereta api, Sebelumnya manfaat inovasi hanya dirasakan secara lokal. Sebagai ilustrasi, sebelum revolusi industri London-Edinburgh dicapai dalam waktu 10-12 hari. Setelah ada kereta api, bisa ditempuh hanya dalam waktu 45 jam. Dari segi biaya, ongkos transportasi kereta sangat murah sehingga pusat ekonomi di kota-kota besar bisa dijangkau oleh para pekerja low-skilled dari pedesaan atau area suburban.

Penulis adalah mahasiswa doktoral Economic Geography di LSE.

Comments