Dimensi-dimensi Eksklusi Pasar
by: Joseph Robert Daniel - PhD Student in Management Studies, University of Liverpool
Barangkali sulit dipungkiri, bahwa pasar kini menjelma menjadi sebuah institusi sosial yang makin dominan mengatur kehidupan kita dewasa ini. Banyak aspek dari jati diri, status, dan kesejahteraan manusia modern kini dikonstruksi lewat partisipasi aktif di pasar (Askegaard 2006; Belk 2004; Dittmar 2008).
Tradisi saling memberi hadiah (gift- exchange), fenomena travelling, therapeutic shopping, atau merawat kesehatan lewat berolahraga di pusat kebugaran (gym) adalah beberapa contoh kegiatan sehari-hari masyarakat modern yang semuanya berhubungan dengan pasar. Konsumsi barang, jasa, dan pengalaman menduduki posisi penting dalam upaya mencapai kebahagiaan, dan perlahan mulai menggeser produksi sebagai aktivitas esensial dalam membangun hidup yang bermakna. Identitas dan kewibawaan seseorang tak hanya dilihat dari cara menghasilkan, tetapi juga cara membelanjakan. Aktivitas konsumsi tak lagi bersifat fungsional dan praktikal semata, tetapi juga simbolik. Ia menjadi aktivitas penciptaan- makna di mana pengetahuan, selera, dan estetika seseorang diterapkan untuk aktualisasi diri dan bersosialisasi. Sejumlah ahli telah menggarisbawahi beberapa risiko yang perlu ditanggulangi dalam tatanan masyarakat seperti di atas. Memberi ruang lebih pada pasar sebagai lembaga yang mengatur kehidupan mengancam kohesi sosial, karena mekanisme pasar umumnya mengedepankan kompetisi dan individualitas sebagai nilai-nilai utamanya (Parsons et al. 2013).
Dalam masyarakat post-industrial di mana pasar menjadi dominan, anggota masyarakat yang memiliki modal kultural, sosial, dan ekonomi yang memadai relatif lebih berdaya dalam memanfaatkan berbagai peluang dan tawaran yang ada di pasar (cf. Bourdieu 1996). Sebaliknya, sebagian lain yang menjalani hidup yang kurang beruntung karena dihalangi berbagai hal sehingga tidak dapat berpartisipasi secara setara dan berdaya di pasar, makin termarjinalkan dan beresiko mengalami ketersisihan sosial. Dalam studi pemasaran, upaya sistematik untuk menginvestigasi hubungan antara mekanisme pasar yang kompleks dan ketersisihan sosial yang dialami kelompok atau individu tertentu makin dibutuhkan. Munculnya kebutuhan ini antara lain disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap fokus berlebihan studi pemasaran pada ‘what and how exchange occurs rather than who has the ability to exchange or is excluded from exchanging’ (Hill & Martin 2014, p. 17). Sebagaimana telah diargumentasikan banyak kritikus (lihat Tadajewski 2010 untuk tinjauan terperinci), fokus berlebihan seperti itu membuat pemasaran menjadi disiplin ilmu yang apolitis, kurang memiliki daya kritik untuk perubahan sosial, serta rentan menjadi alat mobilisasi kepentingan-kepentingan kapitalistik.
Sebaliknya, penelitian yang berfokus pada siapa yang berkemungkinan mengalami ketersisihan di, dan melalui pasar, serta mekanisme yang melatarbelakangi ketersisihan mereka, masih kurang diberi perhatian (Ekstrom & Hjort 2014; Burgess et al. 2017). Istilah marketplace exclusion atau eksklusi pasar baru-baru ini diperkenalkan untuk melabeli pokok penelitian yang terabaikan ini, dan literatur yang secara khusus meneliti pokok tersebut mulai bertambah dalam satu dekade terakhir ini. Eksklusi pasar menunjuk pada pelbagai mekanisme yang menghalangi individu maupun suatu kelompok membangun dan menikmati relasi sosial yang adil, setara, dan bermartabat di pasar sebagai konsumen (Burgess et al., 2017; Saren et al., 2019). Mekanisme-mekanisme tersebut umumnya berhubungan dengan: 1) ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan konsumsi, dan 2) kegagalan pasar untuk menjadi tempat yang aman dan representatif bagi setiap individu dalam keragaman identitasnya. Kedua hal ini sering mengakibatkan adanya marjinalisasi individu atau kelompok sosial tertentu (Burgess et al. 2017). Mari kita lihat beberapa contoh penelitian tentang eksklusi pasar yang berfokus pada isu partisipasi dan representasi ini.
Terkait isu representasi, sejumlah penelitian telah mengkaji bagaimana praktik pemasaran menciptakan citra-citra yang keliru tentang realitas kelompok sosial tertentu, sehingga alih-alih membebaskan, praktik-praktik pemasaran ini malah melanggengkan marjinalisasi terhadap kelompok sosial tersebut. Ambil contoh investigasi dari Kearney et al. (2019) tentang iklan “We are the super-humans” di Rio Paralympic Games 2016. Investigasi ini menyingkap bagaimana upaya inklusif untuk merangkul penyandang disabilitas dalam kegiatan olahraga berskala global, ternyata secara subtil turut melanggengkan mitos kepahlawanan para penyandan disabilitas tersebut (hero myth, lihat Campbell 2004).
Iklan tersebut masih bertumpu pada asumsi bahwa partisipasi dalam kegiatan olahraga adalah hal yang luar biasa bagi penyandang disabilitas, dan karenanya secara tidak langsung menguatkan pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah “yang lain” di masyarakat.
Apa yang biasa dilakukan non-disabilitas, adalah hal yang luar biasa bagi penyandang disabilitas. Representasi yang diskriminatif lewat iklan seperti ini juga muncul dalam kasus rasisme terhadap orang Afro-Amerika (Johnson et al. 2019), praktik pemasaran inklusif yang mengakomodasi kebutuhan konsumen Muslim dalam masyarakat sekuler Prancis (Johnson et al. 2017), dan kampanye pemasaran sosial untuk tubuh ideal wanita yang sehat (Gurrieri et al. 2013). Seperti diungkapkan lewat studi-studi ini, citra-citra yang keliru terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam praktik pemasaran arus utama, membuat kelompok-kelompok ini menjadi marjinal, pengalaman hidup mereka tidak terwakilkan, tidak terlihat, atau dianggap tidak layak, berbeda, dan terstigmatisasi dalam masyarakat.
Terkait isu partisipasi, para peneliti memumpun perhatian pada berbagai hambatan yang dialami konsumen dalam perjuangan untuk memenuhi berbagai tuntutan hidup yang dinormalisasikan oleh praktik-praktik pemasaran (lihat misalnya Hill 2002; Hamilton 2009a, 2009b, 2014). Hambatan untuk berpartisipasi secara setara di pasar biasanya terkait dengan salah satu atau kombinasi beberapa aspek seputar konsumsi, seperti siapa yang dapat mengkonsumsi (i.e. konsumen merasa tersisihkan ketika mereka mengalami perlakuan tidak adil di pasar karena identitas sosial mereka, seperti dalam kasus diskriminasi rasial (Crockett et al. 2003)), apa yang dapat dikonsumsi (i.e. individu merasa tersisihkan ketika tidak ada produk atau layanan yang tersedia di pasar untuk kebutuhan spesifik mereka, seperti yang terjadi dalam kasus konsumen dengan down syndrome (de Faria & Morreira-Casotti 2019)), bagaimana mengkonsumsi (i.e. ketika konsumen hanya dapat memperoleh produk dan layanan dari saluran pemasaran sekunder dan bukan dari saluran utama sebagaimana bisa dilakukan konsumen lain (Williams & Windebank 2002)), dan di mana konsumsi dilakukan (i.e. individu merasa tersisihkan ketika mereka jauh terpisah secara geografis dari tempat-tempat di mana aktivitas konsumsi biasanya dilakukan (lih. Saatcioglu & Ozanne 2013)).
Dalam perjuangan untuk bisa berpartisipasi secara adil dan setara di pasar, konsumen seringkali masuk dalam situasi di mana kesejahteraan (well-being) mereka terancam. Penelitian dari Hutton (2019) mengungkap bagaimana iklim kompetitif dalam memenuhi tuntutan hidup dapat menjadi beban emosional yang besar bagi konsumen- konsumen yang hidup dalam kemiskinan, karena ungkapan kasih sayang, cinta, dan perhatian makin dilekatkan pada materi, dan dinormalisasikan lewat praktik-praktik pemasaran (i.e. iklan). Di konteks negara berkembang, Bhattacharyya & Belk (2019) membongkar bagaimana feodalisme dan dominasi kelas sosial juga turut memperparah eksklusi pasar. Dalam studi mereka tentang bagaimana penghuni kawasan kumuh di India mengonsumsi teknologi, mereka menemukan bahwa warga kelas-pekerja dapat bertahan (resilient) dalam kondisi kemiskinan ekstrem karena mereka mengadopsi apa yang disebut sebagai “subservient consumption”. Ini adalah praktik mengonsumsi yang menekankan keharmonisan dan menghindari perbantahan atau pertikaian dengan kaum kelas menengah dan atas (e.g. para penjual/vendor teknologi) yang mengontrol distribusi barang yang mereka konsumsi.
Akibatnya, kaum kelas-pekerja ini hanya pasrah menerima dan berkompromi dengan segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami dalam jual-beli dan penggunaan barang-barang itu. Ringkasnya, percakapan ilmiah tentang eksklusi pasar sejatinya berkaitan dengan relasi kuasa yang tidak seimbang dan termanifestasi dalam bentuk diskriminasi, dominasi, eksploitasi, atau stigmatisasi sosial yang turut dilanggengkan melalui praktik- praktik pemasaran, secara sadar maupun tidak. Sebagai institusi sosial yang memiliki aturan dan norma-normanya sendiri, pasar bukanlah arena yang setara untuk semua orang. Praktik-praktik pelemahan (disempowerment) kelompok dari ras, usia, kelas, jenis kelamin, agama, status ekonomi tertentu dilanggengkan dalam berbagai bentuk yang kompleks dan seringkali tersembunyi, berujung pada bertambahnya penderitaan manusia (Lynam & Cowley 2007). Namun, penyebab dan efek dari eksklusi pasar belum sepenuhnya ditelusuri (Saren et al., 2019), karena terjadi dengan berbagai bentuk, di berbagai konteks, dan pada beragam kategori sosial.
***