
Internet for Good: Potensi, Selebrasi, dan Ilusi

by: Rio Tuasikal dan Dyah Adi Sriwahyuni
Sejak kemunculannya bagi publik pada 1990-an, Internet dipercaya akan membawa perubahan sosial yang masif. Internet telah diprediksi mendorong pertumbuhan ekonomi, transparansi pemerintah, dan demokratisasi pembangunan. Akses terhadap web diandaikan memberi orang informasi dan koneksi yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah. Pada gilirannya, internet dipercaya membawa harapan baru untuk menyelesaikan problema sosial. Namun demikian, Internet for Good tidak sepenuhnya terbukti benar. Sejumlah studi justru merekam kegagalan (atau paling tidak keterbatasan) internet dalam menciptakan perubahan sosial.
Sisi manfaat dan kritis dari Internet ini menjadi bahan diskusi menarik ISF kluster Social Studies, Arts, and Humanities pada tanggal 27 Maret 2021 pukul 1.00 GMT melalui ruang Zoom. Narasumber diskusi ini adalah Rio Tuasikal, Mahasiswa Master Media and Communications, Goldsmiths, University of London dengan moderator Rakyan Widhowati Tanjung, Mahasiswi Master International Development, University of Birmingham.
Optimisme Internet
Optimisme terhadap internet termanifestasi dalam berbagai frasa berikut: “Tech for Good”, “Internet for Farmers”, “Digital Village”, dan “ICT for Development”. Berbagai platform dan aplikasi pun diciptakan dan dikampanyekan. Bersamaan dengan infrastruktur internet yang masuk ke pedesaan, kampanye literasi digital pun diperluas ke penduduk rural. Harapannya, penggunaan internet bisa menciptakan jalan pintas bagi mereka untuk keluar dari ‘kemiskinan’.
Banyak figur-figur yang menggelorakan semangat ini. Di ranah global, ada pendiri Facebook Mark Zuckerberg yang mempromosikan internet.org dan Facebook Basics. Di taraf nasional, ada Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yang sangat getol mendorong digitalisasi di bidang pendidikan setelah ia membangun raksasa Gojek. Di taraf provinsi, ada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang membangun Jabar Digital Service yang giat menciptakan mobile app untuk masyarakat.
Ketidak-terbuktian Internet for Good
Barangkali yang sering diabaikan dalam selebrasi “Internet for Good” itu adalah nihilnya bukti-bukti penunjang. Sejumlah studi justru merekam kegagalan (atau paling tidak keterbatasan) Internet dalam menciptakan perubahan sosial. Kehadiran Internet dan teknologi penunjang tidak serta merta mengubah struktur sosial dan ekonomi sebuah masyarakat. Penggunaan yang dicita-citakan (normative use) ternyata tidak selalu sejalan dengan penggunaan sebenarnya (actual use) di lapangan. Selain itu ada faktor-faktor makro lain yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan kehadiran sinyal.
Studi empirik Burrel dan Oreglia (2015) di Tiongkok dan Uganda menunjukkan bahwa kehadiran telepon selular, yang diharapkan membantu petani dan nelayan lewat informasi harga komoditas, tidak serta merta meningkatkan pendapatan mereka. Ponsel memang membantu petani dan nelayan melakukan koordinasi.

Namun, informasi harga komoditas ternyata tidak selangka yang dibayangkan, dan bahwa harga komoditas bukan satu-satunya faktor penentu bagi petani dan nelayan. Studi serupa di Jamaika oleh Horst dan Miller (2006) juga menunjukkan bahwa ponsel tidak secara ajaib mengubah petani menjadi wirausahawan, dan bahwa kendala modal berperan lebih besar dan ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan kepemilikan ponsel.
Di sisi lain, Internet menghadirkan konsekuensi tersembunyi yang kerap terabaikan. Facebook Basics dan internet.org, misalnya, menurut Nothias (2019) justru memfasilitasi ekstraksi data pribadi di Afrika untuk keuntungan salah satu perusahaan teknologi terkaya di dunia. Gojek, yang dirayakan sebagai decacorn pertama Indonesia, tumbuh pesat di atas status rentan para pengemudi yang tidak dijamin oleh UU Ketenagakerjaan. Sementara Jabar Digital Service, yang dipuji sebagai langkah inovatif, melupakan fakta bahwa penetrasi Internet masih jomplang dan akhirnya memperparah kesenjangan.
Re-evaluasi Internet for Good
Penekanan berlebihan pada Internet, dan bahwa intervensi teknologi saja mampu menyelesaikan masalah sosial, disebut oleh Morozov (2014) sebagai techno-solutionism. Logika ini menjebak kita pada keterpukauan terhadap teknologi, namun abai pada aspek struktural yang melandasi masalah tersebut. Logika ini juga mereduksi teknologi menjadi apolitis, seolah-olah teknologi itu netral, bebas nilai, kepentingan, atau ideologi.
Narasi teknologi yang reduksionis ini berbahaya dalam memandang persoalan. Selain tidak menyelesaikan masalah, techno-solutionism punya kepentingan bisnis. Oleh karena itu, diskusi ini bermaksud mengetengahkan sikap kritis dalam memandang peran Internet dalam perubahan sosial. Hal ini penting supaya kita dapat mengevaluasi Internet secara adil, membedakan mana aspek yang jadi potensi dan mana aspek yang sebenarnya ilusi.

Diskusi
Sesi diskusi dimulai dengan penyampaian pandangan dari peserta forum mengenai sisi kritis dari perkembangan teknologi. Sebagai contoh, keberadaan salah satu start up di Indonesia hanya dilihat sebagai sebuah solusi ekonomi, padahal ada sisi eksploitasi sumber daya manusia yang dipekerjakan tanpa perlindungan yang semestinya. Selanjutnya, apakah teknologi perlu menjadi sebuah keniscayaan jika Tesla mengembangkan teknologi roket untuk mengirim billioner jalan-jalan ke bulan. Tentu tidak! Keputusan teknologi menjadi keniscayaan semestinya ada di tangan masyarakat (baca: produk masyarakat) yang menentukan teknologi seperti apa yang akan bermanfaat untuk kehidupannya.
Di sisi lain, dampak negatif sosial media ke kehidupan generasi muda dan dibawah umur juga patut diperhatikan dengan ekstra serius. Seperti, kecanduan Internet pada anak-anak dan pertumbuhan self-esteem generasi muda yang dipengaruhi oleh budaya “like” media sosial, disinyalir meningkatkan jumlah remaja bunuh diri di Amerika Serikat dan Inggris. Kemampuan Internet (media sosial) yang memasuki alam bawah sadar manusia dengan menawarkan produk-produk pun mesti dipertanyakan etikanya.
Teknologi yang embedded dalam global capitalism yang menguntungkan segelintir orang juga mesti dikritisi dengan lebih serius. Alih-alih membantu mengurangi kesenjangan, keberadaan teknologi justru menciptakan kesenjangan baru akibat dikuasainya resources oleh segelintir orang tersebut.
Namun demikian, meskipun lambat, teknologi juga berkembang secara positif mengarah pada universal design yang bermanfaat untuk disabilitas, semisal aplikasi Facebook yang membantu tuna netra untuk bisa memahami sebuah gambar.
Bagaimana kita bisa mengurangi dampak negatif Internet/teknologi ini? Pemerintah, sebagai regulator, turut bertanggung jawab untuk memastikan disrupsi teknologi berdampak positif terhadap sosial masyarakat. Dalam hal ini pemerintah tidak melulu mengambil keputusan karena kepentingan politik atau ekonomi, tetapi dengan mempertimbangkan kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah sebagai regulator dapat membantu penciptaan inovasi (teknologi) sesuai dengan perubahan sosial yang dicita-citakan.
Kesimpulan
Perkembangan teknologi, tidak bisa dipungkiri, telah membantu kehidupan manusia. Namun manusia perlu mengembangkan sikap kritis supaya tidak terjebak pada narasi teknologi yang reduksionis dan apolitis.
Diskusi ini ditutup dengan closing remark yang sangat singkat namun sangat mengena dari Rio, bahwa kita tidak anti-teknologi, tetapi kita mesti kritis menilai teknologi dari sisi potensi dan ilusi. Pada akhirnya keberadaan teknologi semestinya untuk memberikan manfaat kepada manusia, tanpa mengeksploitasi dan menyebabkan penderitaan terhadap manusia lainnya. Dengan demikian, barulah kita bisa menselebrasi keberadaan teknologi. ***