Perempuan dalam Rezim Perpajakan Indonesia

21 April 2021

Dalam rangka memperingati Hari Kartini pada 21 April 2021, Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK) bekerja sama dengan Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (INTACT-UK) menyelenggara-kan webinar dengan judul Perempuan dalam Rezim Perpajakan Indonesia. Diskusi publik menghadirkan tiga narasumber dan dimoderatori oleh langsung Gatot Subroto, Ketua Umum PPI UK 2020/2021. Topik perempuan penting dan menarik untuk diulas terutama kaitannya dalam meningkatkan kinerja perpajakan Indonesia, misalnya sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kepatuhan dan jawaban atas rendahnya tax ratio Indonesia.

Narasumber

Ir. Romadhaniah, M.Ec.

Kepala Kanwil DJP Sumatera Selatan & Kep. Bangka Belitung

Dr. Theresia Woro Damayanti

Dosen Universitas Kristen Satya Wacana 

Khisi Armaya Dora

Manager and Expert Consultant, DDTC

Gatot Subroto

Ketua Umum PPI UK 2020/2021 PhD Candidate University College London 

Perempuan sebagai Pembayar Pajak

Kontribusi besar perempuan dalam menyumbang penerimaan negara ditunjukkan dengan besarnya peranan perempuan dalam perekonomian Indonesia. Sebagai contoh, Romadhaniah menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) pada 2019 mencapai 60 juta dimana 60% nya dikelola oleh perempuan. Mengutip ungkapan Sri Mulyani, Romadhaniah juga menekankan produktivitas negara akan meningkat nilainya mencapai Rp 28 triliun atau 26% dari GDP dunia apabila negara memberi kesempatan yang sama kepada perempuan dalam berusaha. Namun, Romadhaniah mengingatkan bahwa Indeks Pengusaha Perempuan Indonesia berada pada ranking 30 dengan skor 62,4 selisih sebesar 11, 8 dengan Selandia Baru sebagai peringkat pertama. Perbedaan ini tidak terlalu jauh, sehingga Indonesia punya peluang besar untuk memaksimalkan peran perempuan dalam perekonomian yang kemudian dapat meningkatkan penerimaan pajak, ujar Romadhaniah.

Dalam hal senada, Khisi turut mempertegas bahwa kontribusi perempuan sebagai pembayar pajak berpotensi terus meningkat. Pasalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengestimasi pada 2030 sampai 2045 kemungkinan besar jumlah penduduk perempuan akan mendominasi. Makin tingginya jumlah penduduk perempuan maka makin besar pula kesempatan perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam dunia kerja dan pada akhirnya meningkatkan peran perempuan sebagai pembayar pajak. Woro turut mengamini potensi besar perempuan sebagai pembayar pajak, dengan merujuk pada hasil penelitiannya, bahwa meskipun tidak dominan, perempuan memiliki kepatuhan pajak yang lebih tinggi ketimbang laki-laki. Temuan ini didasarkan pada karakteristik perempuan yang cenderung risk-averse, menghindari denda, menghindari risiko pemeriksaan, dan dengan senang hati bersedia membantu negara jika tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan.

Namun demikian, potensi besar perempuan dalam perekonomian ini bukan tanpa tantangan. Romadhaniah menyebutkan beberapa hal diantaranya stigma perempuan bukan pencari nafkah, keterbatasan waktu karena sibuk mengurus keluarga (unpaid work), budaya patriarki, keterbatasan akses infrastruktur dan sumber daya keuangan, kurangnya akses permodalan, dan masih minimnya edukasi kepada perempuan untuk berusaha. Gatot juga menyampaikan bahwa dalam sistem perpajakan Indonesia, perempuan tidak mendapatkan perlakuan setara dengan wajib pajak pria. Dalam hukum positif perpajakan Indonesia, seorang perempuan bukan subjek pajak seutuhnya karena UU Pajak Penghasilan (PPh) menganut prinsip unitas personae atau family unit, yaitu keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis dengan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Perempuan sebagai Tax Practitioners

Sudah lazim diketahui bahwa konsultan pajak berperan penting meningkatkan pengetahuan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan. Isu peran perempuan juga mengemuka dalam sektor bisnis konsultan pajak. Merujuk pada Women in Tax Leaders Survey 2021, ITR World Tax, Khisi menyebutkan perempuan diakui memiliki peran signifikan dalam industri akuntansi dan pajak dimana lebih dari 60% surveyee menyatakan setuju bahwa kesataraan gender dalam industri pajak telah mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir, dan 60% juga menyatakan setuju bahwa industri ini menjadi pilihan menarik buat perempuan. Namun, survei juga menunjukkan tantangan yang dihadapi perempuan, diantaranya hampir 40% menyatakan setuju bahwa untuk meraih tingkat kesuksesan dalam karir, praktisi pajak perempuan menghadapi rintangan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Selain itu, isu work-life balance juga menjadi kondiseran penting bagi perempuan dibandingkan laki-laki.

Perempuan sebagai SDM dalam Otoritas Pajak

Perempuan juga memiliki peran sebagai bagian dari SDM otoritas pajak. Merujuk pada data International Survey on Revenue Administration (ISORA) yang diterbitkan pada 2019, Khisi menunjukkan bahwa proporsi pegawai laki-laki dan perempuan pada otoritas pajak di 58 negara cenderung seimbang. Bahkan proporsi perempuan melebihi laki-laki dengan persentase 52,2%. Namun, yang menarik adalah jika data survei di-breakdown berdasarkan tinggi-rendahnya pendapatan negara,  negara berpendapatan rendah memiliki proporsi eksekutif perempuan dalam otoritas pajak hanya sebesar 27,4%, sebaliknya otoritas pajak di negara berpendapatan tinggi memiliki proporsi eksekutif perempuan sebanyak 42,7%.

Selanjutnya, Romadhaniah turut menyampaikan data proporsi pegawai perempuan dalam otoritas pajak Indonesia. Menurutnya, target inklusi perempuan sebanyak 30% dalam peran eksekutif masih sangat sulit dicapai.  Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Biro Sumber Daya Manusia, Kementerian Keuangan pada 2019, persentase pegawai perempuan sesuai jabatan adalah 11% Eselon II, 15% Eselon III, dan 20% Eselon IV.

“Namun, yang menarik adalah jika data survei di-breakdown berdasarkan tinggi-rendahnya pendapatan negara,  negara berpendapatan rendah memiliki proporsi eksekutif perempuan dalam otoritas pajak hanya sebesar 27,4%, sebaliknya otoritas pajak di negara berpendapatan tinggi memiliki proporsi eksekutif perempuan sebanyak 42,7%.”
– Khisi Armaya Dora –

Potensi untuk Perbesar Peran Perempuan dalam Rezim Perpajakan Indonesia

Dalam penghujung diskusi, Gatot Subroto, selaku moderator menyampaikan tiga kesimpulan terkait perempuan dalam rezim perpajakan Indonesia. Pertama, memang ada ketidaksetaraan gender dalam sistem pepajakan Indonesia. Dalam hukum pajak ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam perlakuan penghasilan, kewajiban NPWP, dan lain-lain. Kedua, perbedaan perlakuan ini kemungkinan disebabkan berbagai stigma dalam masyarakat Indonesia, seperti budaya patriarki, nilai kebudayaan, ajaran agama, dan lain sebagainya. Ketiga, fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Riset mengungkapkan banyak negara yang memiliki sistem pajak yang tidak memenuhi kesetaraan gender. Keempat, masih banyak ruang dan potensi yang bisa dieksplor terkait gender dan peranan perempuan dalam meningkatkan kinerja perpajakan dan perekonomian secara keseluruhan, misalnya dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan yang memiliki kualifikasi untuk menempati posisi eksekutif baik dalam sektor bisnis maupun otoritas pajak dan menciptakan regulasi perpajakan yang mendorong pemberdayaan perempuan.

Narahubung,

Dyah Adi Sriwahyuni

Departemen Riset dan Kajian Strategis, PPI United Kingdom

CP: dyah.sriwahyuni@yahoo.com

[pdf-embedder url="http://ppiuk.org/wp-content/uploads/Perempuan-dalam-perpajakan-Ibu-Nia.pdf"]
[pdf-embedder url="http://ppiuk.org/wp-content/uploads/Women-in-tax-Ibu-Woro.pdf"]
[pdf-embedder url="http://ppiuk.org/wp-content/uploads/Perempuan-dalam-Rezim-Perpajakan-Indonesia-ibu-Khisi.pdf"]

Comments