Industrialisasi, Inovasi, dan Tantangan Keluar dari Middle Income Trap

Mar 25, 2021

by: Imaduddin Abdullah

in Economics and Business | Indonesian Scholars Forum PhD Candidate, Department of International Development, King’s College London

Industrialisasi dan Transformasi Struktural

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemajuan suatu negara sudah menjadi topik diskusi di kalangan akademis selama puluhan tahun terakhir. Salah satu teori ekonomi pembangunan yang menjelaskan faktor dan proses pembangunan ekonomi suatu negara dijabarkan oleh Arthur Lewis pada tahun 1954. Dalam artikel yang berjudul “Economic Development with Unlimited Supplies of Labour”, Lewis menjelaskan “dual-sector model” di mana ekonomi suatu negara terdiri dari subsistence/traditional sectors dan capitalist/modern sectors. Sektor tradisional ditandai oleh tenaga kerja dengan skill rendah, produktivitas rendah, dan modal fisik yang rendah. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh realokasi dari sektor tradisional ke sektor modern.

Teori yang dipaparkan oleh Lewis tersebut mendorong berbagai studi mengenai transformasi struktural yang merujuk kepada pergeseran faktor produksi (tenaga kerja dan modal) dari sektor tradisional ke sektor modern. Kuznets (1966) dan Kaldor (1967) menjabarkan bahwa salah satu aspek penting dari transformasi struktural suatu negara adalah pergeseran dari sektor pertanian ke manufaktur. Kaldor (1967) secara lebih rinci memperkenalkan ‘Kaldor’s Growth Laws’ yang terdiri dari tiga argumen yaitu: (1) hubungan yang kuat antara pertumbuhan manufaktur dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB); (2) pertumbuhan manufaktur dan pertumbuhan produktivitas, dan (3) manufaktur menyerap tenaga kerja dari sektor lainnya sehingga secara agregat produktivitas suatu ekonomi akan meningkat.

Pentingnya sektor manufaktur terhadap ekonomi juga dikonfirmasi oleh berbagai penelitian yang dilakukan oleh Ocampo et al (2009) di mana pertumbuhan PDB suatu negara berkorelasi positif dengan peningkatan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB negara tersebut. Hasil yang sama juga didapat oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh McMillan & Rodrik (2011), Nayyar (2013), Rodrik (2007), Szirmai (2009), dan Szirmai & Verspagen (2011). Dalam konteks ketimpangan ekonomi, Baymul dan Sen (2020) juga membuktikan bahwa transformasi struktural yang didorong oleh manufaktur menurunkan ketimpangan ekonomi.

 

 

Perkembangan Transformasi Struktural di Indonesia

Indonesia mengalami transformasi struktural sejak tahun 1966 di mana kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan dari 49% menjadi hanya sekitar 13,7% pada tahun 2020. Di saat yang sama, sektor manufaktur mengalami peningkatan dari 2% pada tahun 1966 menjadi 19,9% pada tahun 2020. Transformasi struktural yang terjadi di Indonesia memberikan dampak positif terhadap pendapatan per kapita Indonesia di mana GNI per capita Indonesia meningkat dari hanya US$ 80 pada tahun 1960an menjadi US$ 4050 pada tahun 2020. Mengingat ambang batas kelompok negara pendapatan menengah atas adalah $3,955, maka Indonesia mendapatkan status baru sebagai negara pendapatan menengah atas (upper middle income country) pada tahun 2020. Satu sisi, pencapaian ini patut disyukuri karena Indonesia melewati salah satu tonggak penting dalam perjalanan pembangunan suatu negara. Tapi di sisi lain, tantangan Indonesia menjadi negara pendapatan tinggi (high income) masih sangat banyak. Dalam periode 1960-2020, dari 101 negara yang dikelompokkan menjadi middle income countries, hanya 13 negara yang mampu keluar menjadi negara pendapatan tinggi. Sisanya terperangkap dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Perangkap middle income ini disebabkan oleh hilangnya faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi (cheap labour). Selain itu, perangkap ini disebabkan karena kegagalan untuk mentransformasikan industrinya dari produsen barang nilai tambah yang rendah menjadi barang dengan nilai tambah yang tinggi (Agenor et al, 2012).

Agar Indonesia keluar dari perangkap pendapatan menengah, maka Indonesia harus terus mendorong sektor manufaktur dengan nilai tambah yang tinggi. Sayangnya, Indonesia menghadapi fenomena deindustrialisasi dini di mana kontribusi sektor industri berkurang lebih cepat dibandingkan negara-negara dengan penghasilan tinggi lainnya. Kontribusi manufaktur Indonesia dalam penyerapan tenaga kerja mencapai puncak pada 1992 di mana hanya menyerap 14% tenaga kerja. Sejak saat itu, penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur terus berkurang. Padahal, negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan mencapai puncak penyerapan tenaga kerja pada level 25% dan 28%. Kedua negara tersebut juga mencapai puncak tersebut pada saat statusnya adalah middle-income countries dan bahkan high-income countries. Sedangkan Indonesia mencapai puncaknya pada saat masih menjadi low-income countries. Hal ini memberikan kekhawatiran bahwa Indonesia kehilangan mesin pertumbuhan ekonomi sebelum mencapai status negara pendapatan atas.

Fenomena deindustrialisasi dini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara berkembang lainnya (Rodrik, 2016).

Ada beberapa penjelasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadi deindustrialisasi dini. Phillips dan Sumner (2019) menjelaskan deindustrialisasi terjadi karena fenomena ‘butter-spreading’ di mana industrialisasi semakin menyebar, tidak hanya di negara-negara Asia Pasifik tetapi juga di Asia Selatan dan Afrika. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Felipe et al., (2014; 2018) dan Haraguchi et al., (2017) yang menjelaskan industri tekstil yang tidak lagi terpusat di negara-negara Asia Tenggara tetapi juga di Asia Selatan seperti Bangladesh. Faktor berikutnya yang mendorong terjadinya deindustrialisasi dini adalah faktor perubahan teknologi yang mempercepat otomatisasi. Hal ini membuat negara berkembang yang memiliki tenaga kerja yang banyak dan murah tidak lagi memiliki keunggulan komparatif (lihat Berman et al., 1998; Card and DiNardo, 2002; Autor and Dorn, 2013; Goos, 2018; Piva et al., 2005). Selain kedua faktor di atas, Chang (2002) dan Stiglitz & Charlton (2005) menjelaskan faktor ekonomi politik di mana negara-negara maju membuat kondisi yang sulit bagi negara-negara berkembang untuk terus mengalami industrialisasi, seperti melarang kebijakan industri yang protektif dan juga membuat sistem tarif perdagangan yang menghambat negara berkembang untuk bisa mencapai industrialisasi.

Tantangan industrialisasi juga dihadapkan oleh fenomena Global Value Chains (GVCs). Saat ini, produksi suatu barang tidak lagi dilakukan di satu tempat, tetapi terfragmentasi di sejumlah negara. Pada satu sisi, GVCs memberikan peluang kepada negara berkembang karena negara-negara tersebut tidak perlu membangun keseluruhan rantai pasok, tetapi cukup terlibat dalam rantai pasok yang sudah ada. Hal ini akan membuat negara-negara berkembang bisa lebih cepat melakukan ekspor dibandingkan sebelumnya (Baldwin, 2011). Tapi di sisi lain, GVCs juga dapat memberikan dampak negatif antara lain adalah negara berkembang terperangkap di aktivitas dengan nilai tambah yang rendah (Shin, 2012). Selain itu, negara-negara maju juga mendapatkan markup ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan negara berkembang (World Bank, 2019).

Strategi Reindustrialisasi dan Keluar dari Middle-Income Trap

Agar Indonesia bisa melakukan re-industrialisasi di tengah berbagai tantangan yang ada, strategi re-industrialisasi perlu mempertimbangkan tiga dimensi yaitu: (1) peran sumber daya alam; (2) strategi “flying geese”; dan (3) inovasi. Pertama terkait sumber daya alam, Indonesia harus memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimiliki. Sebagai salah satu negara dengan kandungan mineral yang tinggi, Indonesia harus dapat memanfaatkan hal ini dan membalikkan kutukan sumber daya alam (resource curse)[1] yang selama ini dialamatkan kepada negara-negara yang kaya sumber daya alam. Memanfaatkan sumber daya alam untuk mendorong industrialisasi (resource-based industrialisation) sudah dilakukan oleh negara-negara maju lainnya (lihat Morck dan Nakamura (2018) untuk Jepang; Andersen (2012) untuk  USA; dan Wright and Czelusta (2007) untuk Australia). Potensi industrialisasi berbasis sumber daya alam juga semakin tinggi sejalan dengan kemajuan teknologi yang membuka semakin besarnya pemanfaatan barang tambang dan mineral untuk produksi barang teknologi tinggi. Hal ini semakin menguatkan potensi pembangunan berbasis sumber daya alam (Mancini and Paz, 2016; Lebdioui, 2019).

Dimensi kedua adalah strategi kebijakan industri dengan menggunakan flying geese model. Walaupun model ini diterapkan dan dipopulerkan di Asia Timur pada periode sebelum GVCs, tapi model ini tetap memiliki relevansi untuk digunakan dalam rangka reindustrialisasi. Kebijakan industri dilakukan secara sequencing dimana berfokus kepada sektor di mana Indonesia sudah memiliki kapabilitas, lalu secara bertahap membangun kapabilitas di sektor lain yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan proses upgrading yang menjadi kunci untuk industrialisasi di tengah GVCs (Gereffi, 2019). Model strategi industri ini sejalan dengan konsep dynamic comparative advantage yang menjadi kunci negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan mencapai negara pendapatan tinggi.

Jika Indonesia ingin melakukan re-industrialisasi dan keluar dari perangkap pendapatan menengah maka tidak cukup hanya dengan bergabung dengan GVC untuk mendapatkan dampak positif dari keterlibatan di GVC. Tetapi lebih dari itu, perlu secara bertahap mendorong upgrading ke posisi dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Dalam hal ini, perlu adanya kebijakan industri yang didasarkan oleh tiga aspek yaitu: flying geese model, inovasi, dan pemanfaatan sumber daya alam.

Comments