Melihat Isu Ketimpangan dari Perspektif Kelas dan Mobilitas Antargenerasi

Feb 13, 2021 | Indonesian Scholars Forum, Social Development, Arts, and Humanity

by: Rhifa Ayudia

MSc Student, International Social Studies and Public Policy.
London School of Economics

Pada kelompok masyarakat yang adil, setiap individu memiliki peluang yang sama untuk mencapai sesuatu terlepas dari kondisi dan latar belakang individu tersebut saat dilahirkan (equal opportunity). Akan tetapi, kondisi di berbagai masyarakat saat ini menunjukkan adanya ketimpangan yang dapat diasosiasikan dengan hubungan keberhasilan generasi sebelumnya terhadap kemampuan generasi selanjutnya untuk mencapai sesuatu. Harta (wealth) dan keuntungan sosial yang didapatkan bersamaan dengan terakumulasinya harta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. 

Kondisi ini dapat menyebabkan jurang perbedaan peluang satu individu dari latar belakang tertentu dengan individu lainnya untuk mencapai suatu kondisi yang sama di dalam masyarakat.

Pada kick off discussion Indonesia Scholar Forum (ISF) tanggal 13 Februari 2021 pukul 8.00 GMT, Kluster Social Development Studies, Arts, and Humanities mengadakan diskusi daring melalui Zoom yang memiliki topik utama berkaitan dengan isu ketimpangan dilihat dari perspektif kelas yang merujuk pada tulisan “Intergenerational Inequality: A Sociological Perspective”oleh Robert Erikson dan John H. Goldthorpe. Diskusi tersebut dipimpin oleh Rhifa Ayudhia (MSc student in International Social and Public Policy, LSE) sebagai presenter dan Rakyan Tanjung (MSc student in International Development, University of Birmingham) sebagai moderator.

Mengukur Ketimpangan

Salah satu perspektif yang dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan adalah perspektif kelas (class) yang dikembangkan oleh akademisi rumpun ilmu Sosiologi. Perspektif sosiologi menganalisa ketimpangan dengan mengukur mobilitas antargenerasi dari berbagai kelas berbeda. Kelas didefinisikan berdasarkan relasi pekerjaan seseorang, sehingga terdapat tiga kategori utama: pemberi kerja, pekerja mandiri, dan pekerja. Lebih lanjut, kelas pekerja dijabarkan kembali berdasarkan tipe pengaturan pekerjaan, dari yang paling sederhana seperti bersifat kontrak/sementara hingga pengaturan pekerjaan yang lebih kompleks, bersifat tetap, dan berjenjang karier. Kelas paling tinggi melingkupi kelompok pekerja profesional yang bekerja di sektor jasa sedangkan kelas terendah melingkupi kelompok pekerja di bidang agrikultur.

 

Mobilitas antargenerasi diukur menggunakan rasio peluang (odds ratio) yang dinilai dari arah pergerakan kelas sosial awal individu menuju kelas sosial tujuan. Kelas sosial awal didefinisikan sebagai kelas sosial kepala keluarga (umumnya seorang ayah) ketika seseorang telah dewasa, disandingkan dengan kelas individu tersebut ketika ia telah dewasa. Mobilitas sosial dikatakan terjadi jika terdapat pergerakan dari kelas sosial awal dibandingkan dengan kelas sosial tujuan.  

Mobilitas sosial dipandang sebagai suatu kondisi yang mengindikasikan bahwa suatu masyarakat bersifat terbuka dan memungkinkan untuk terjadinya perubahan kondisi seorang individu yang berasal dari kelas tertentu untuk dapat berada pada kelas lainnya (secara normatif, berada pada kelas yang lebih baik). 

Akan tetapi, dari hasil penelitian yang ada, Erikson dan Goldthorpe berargumen bahwa ketimpangan antargenerasi memiliki kecenderungan untuk bersifat self-sustaining. Ketimpangan antargenerasi menciptakan kondisi yang menyebabkan individu-individu yang berada pada posisi yang lebih tidak menguntungkan untuk membuat keputusan-keputan yang berujung pada bertahannya status quo (tidak terjadi mobilitas kelas). Selain itu, kebijakan publik yang berfokus pada pemberian akses pendidikan semata dianggap tidak memberikan dampak yang cukup untuk memastikan tersedianya peluang yang sama (equality of opportunity). Dibutuhkan upaya yang menyeluruh untuk mengurangi ketimpangan seperti dengan memastikan adanya stabilitas dan kepastian ekonomi.

Diskusi

Salah satu instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan adalah melalui instrumen pajak. Dalam sesi diskusi, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK), Gatot Subroto, menyampaikan mengenai kebijakan “estate tax” dan “inheritance tax” yang diterapkan pada negara Amerika Serikat dan Inggris. Kebijakan tersebut menjadikan harta warisan sebagai objek pajak. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat menjadi instrumen kebijakan yang relevan untuk ditelaah lebih lanjut kesesuaiannya dalam upaya untuk mengurangi ketimpangan. Selain itu, dalam diskusi juga dibahas mengenai limitasi atau keterbatasan dari menggunakan perspektif kelas dalam melihat isu ketimpangan, seperti klasifikasi kelas yang cenderung bersifat Western-centric sehingga perlu ditinjau kembali kesesuaiannya dalam mengaplikasikan perspektif tersebut dalam konteks negara berkembang seperti di Indonesia.

Isu menarik lainnya yang dibahas adalah mengenai peran pendidikan sebagai instrumen untuk meningkatkan taraf hidup dan mengurangi ketimpangan. Sejalan dengan argumen Erikson dan Goldthorpe, peserta diskusi menyadari kompleksitas sektor pendidikan, khususnya di Indonesia. Di satu sisi, upaya untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan mencipatakan pendidikan berbasis merit dapat mendukung pemerataan playing field sehingga meningkatkan kemungkinan setiap individu untuk memiliki peluang yang sama untuk mencapai sesuatu terlepas dari kondisi dan latar belakang individu tersebut saat dilahirkan. Di sisi lain, pendekatan merit-based dalam sektor edukasi dapat memiliki implikasi negatif yang justru akan membuat ketimpangan terus terjadi. Hal ini dikarenakan pendekatan berbasis merit akan melemahkan pertimbangan-pertimbangan batasan struktural dan budaya dalam pendidikan. Isu lain yang juga patut untuk terus diperjuangkan adalah inklusivitas dalam pendidikan, bukan hanya terkait akses ke dalam pendidikan, tetapi juga akses menuju pendidikan yang berkualitas.

Pada akhirnya, isu ketimpangan bersifat multidimensional. Perspektif kelas berkontribusi dalam memperkaya diskursus mengenai ketimpangan melalui analisa relasional antargenerasi antara kepala keluarga dengan sang anak ketika ia dewasa. Salah satu instrumen kebijakan yang dapat diperkenalkan dalam konteks Indonesia adalah instrumen pajak terhadap harta warisan. Selain itu, pemberikan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia dilihat memiliki peluang besar untuk meningkatkan taraf hidup dan mengurangi ketimpangan di Indonesia di masa depan.

Keterkaitan antara pendidikan yang dinomorduakan dan ekonomi yang diutamakan memberikan efek domino pada masyarakat sehingga banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.

Kesimpulan

Isu ketimpangan di Indonesia tidak terlepas dari kekuatan institusi yang struktural dan menjadi bagian dari fondasi oligarki. Adanya tingkat industrialisasi yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya juga memberikan gambaran bahwa diperlukan pendekatan local context pada studi pembangunan sosial, sehingga bisa memberikan adaptasi yang bertujuan untuk mengatasi ketimpangan. Selain itu, kita dapat melihat bahwa pendidikan masih menjadi prioritas nomor sekian dalam pembuatan kebijakan negara, yang berimplikasi pada kualitas pendidikan yang berbeda jauh antara urban dan daerah rural. Bahkan, di kota-kota besar di Indonesia juga masih bisa dilihat perbedaannya antara pusat kota dan pinggiran kota, seperti hal-nya yang terjadi di Yogyakarta. 

Keterkaitan antara pendidikan yang dinomorduakan dan ekonomi yang diutamakan memberikan efek domino pada masyarakat sehingga banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Tentunya, hal ini juga berkaitan erat dengan sekat-sekat struktural yang ada. Implikasi-implikasi yang kita ketahui tidak lepas dari adanya mobilitas dan imobilitas dari kelas individu ke kelas origin hingga kelas tujuan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Adanya faktor menarik seperti social fluidity sangat berpengaruh kepada kesejahteraan yang berbeda-beda pada individu yang berkaitan dengan intergenerational inequality.

Comments