Mari Kenali “Loneliness” dan Cara Mengatasinya
Written by: Rio Tuasikal, Kominfo PPI UK.
Edited by: Nurul Fitri Ramadhani
“Sejak sampai disini (Inggris), selama seminggu aku nangis terus, makan dan tidur, selalu begitu. Berat banget rasanya,” tutur Angelina Arini, mahasiswa S2 MBA University of Sheffield. Di musim dingin ini terhitung sudah 3 bulan sejak ia menginjakan kaki di negeri Ratu Elizabeth untuk melanjutkan pendidikan. Udara yang sangat dingin, lingkungan yang jauh berbeda, kewajiban untuk isolasi diri, serta jauh dari keluarga membuatnya merasa rasa kesepian yang amat sangat sehingga seringkali ia cenderung berpikiran negatif (negative thinking) dan berlebihan (overthinking).
Perempuan berusia 29 tahun asal Jakarta ini memiliki kembaran yang ia sebut sebagai teman hidupnya. “Aku selalu tidur bareng sama dia. Sampai kemarin (sebelum terbang ke Inggris) pun masih sekamar berdua. Aku bener-bener susah adaptasi sama situasi disini. Ditambah aku sering gak bisa tidur karena udara sangat dingin,” kata Angelina.
Situasi pandemi memang dapat menyebabkan perasaan terisolasi dan kesepian. Angelina sampai pada titik berpikiran untuk berkonsultasi dengan psikolog, namun ia selalu menunda. Salah satu cara yang ia lakukan untuk keluar dari kecemasan dan rasa kesepian berlebihan adalah dengan melakukan video call dengan kekasihnya dan saudara kembarnya setiap hari.
Angelina pastinya bukan satu-satunya mahasiswa rantau di negara musim dingin yang mengalami kesepian, seringkali disebut “homesick”. Situasi dapat lebih parah di tengah-tengah pandemi, dimana hampir seluruh masyarakat terutama mahasiswa internasional diwajibkan untuk isolasi mandiri, lockdown yang terus-menerus sehingga membatasi ruang gerak untuk mencari hiburan di luar tempat tinggal.
Bagi para mahasiswa yang baru saja menetap di Inggris untuk kuliah, penting untuk mengenali “loneliness”. Tanda-tanda awal baiknya dicermati agar dapat segera dicari solusi sehingga tidak menganggu perkuliahan.
Terkait fenomena ini, mahasiswa S3 Psikologi University of Manchester, Rina Rahmatika, mengungkapkan, kesepian muncul ketika kebutuhan interaksi sosial seseorang tidak terpenuhi. Setiap orang, ujarnya, memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, spesifik, dan situasional.
“Ada yang punya banyak teman tapi kebutuhannya adalah punya pasangan. Kan beda ya. Jadi tetap merasa sendirian,” ujarnya dalam Instagram Live PPI United Kingdom, Minggu 22 November.
“Ada juga yang punya banyak sahabat, namun tidak ada yang bisa jadi emergency call ketika kamu sedih dan butuh curhat. Sehingga kamu merasa kesepian,” tambahnya.
Anggapan Salah soal Kesepian
Rina menegaskan, kesepian tidak selalu berhubungan dengan kurangnya kecakapan sosial (social skills). Kesepian bisa dialami oleh siapaun, termasuk mereka yang kita anggap senang bergaul, ketika ada kebutuhannya yang tidak terpenuhi.
“Apakah kamu punya social skill yang buruk? Tidak. Buktinya kamu punya teman yang banyak,” tandasnya.
Kesepian juga berbeda dengan menyendiri (to be alone). Menurut Rina, orang yang sendiri dapat merasa baik-baik saja dan sudah terpenuhi kebutuhan sosialnya. Setiap orang juga punya kebutuhan berinteraksi dan menyendiri yang berbeda-beda.
“Selama kamu nyaman (sendiri) silakan aja. Ada yang nyaman Akivitas A maunya bareng-bareng tapi aktivitas B maunya sendirian,” tambahnya yang juga anggota Unit Kesehatan PPI UK ini.
Kapan ‘Loneliness’ Perlu Diobati?
Kesepian, Rina menekankan, perlu ditangani jika sudah mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya jadi tidak konsenterasi saat bekerja atau sekolah. Tanda lainnya adalah malas makan, tidur terganggu, atau mudah marah dengan orang sekitar.
“Ketika ada yang mulai terganggu gitu, kayaknya alarm mulai kerja. Kayaknya saya perlu dibantu nih,” tegasnya.
Rasa kesepian juga bisa dipicu oleh perubahan musim. Transisi ke musim dingin menyebabkan durasi siang hari menjadi singkat. Hal ini membuat hormon di dalam tubuh—terutama yang mengatur rasa kantuk dan mood—berubah. Kata Rina, wajar jika ada perubahan mood ketika memasuki musim dingin.
“Terutama jika sebelumnya ada penyebab pencetus. Atau memang ada orang yang benar-benar kena gangguan ketika winter saja, nanti sudah spring akan membaik. Jadi musiman saja.”
Namun, jika perubahan mood “Winter Blues” ini berlangsung lebih dari dua minggu, dapat berubah menjadi “Seasonal Affective Disorder” (SAD). Jika hal ini terjadi, Rina menyarankan untuk segera menghubungi dokter (GP) dan mendapatkan bantuan profesional. Selain itu, untuk merespon berkurangnya cahaya matahari, dapat mengkonsumsi vitamin D jika diperlukan.
Tips untuk Sehat Mental
Rina menjelaskan, ada sejumlah cara untuk menjaga kesehatan mental, sebagai berikut:
- Pertama, bergerak secara fisik, seperti membereskan rumah atau jalan kecil ke luar selama 15 menit.
- Kedua, punya waktu dan kualitas tidur yang baik dan jangan lupa beristirahat.
- Ketiga, cari dukungan sosial (social support). Kamu bisa tetap berkomunikasi dengan orang terdekat, menanyakan kabar sehabat-sahabat, atau bergabung dengan kegiatan sosial. Rina juga menyarankan untuk bergabung dengan kegiatan yang membantu orang lain
- Keempat, lakukan hobi yang kalian suka. Hal ini bisa merupakan minat yang tertunda atau melakukan hal baru.
Rina berpesan sangat penting untuk melakukan “me time” dan menyayangi diri sendiri. “30 menit sampai 1 jam waktu kita gunakan untuk me time, ngga akan membuat kita menderita. Satu jam saja untuk diri sendiri,” tutupnya.
.
Curhat Kakak
Jika butuh bantuan atau curhat, kamu dapat menghubungi healthunit@ppiuk.org. Kapan pun kamu merasa siap, silakan sapa kami lewat email. Kamu tidak sendirian, ada kami yang siap mendengarkan.*
healthunit@ppiuk.org