MA Comparative Literature, Queen Mary University of London Oleh: Dias Novita Wuri Hari pertama kita tiba di London, Inggris, sebagai mahasiswa baru gres, kita ngos-ngosan menggeret sebuah koper raksasa berkapasitas 32 kg, sebuah koper kecil ukuran kabin, serta tas ransel penuh charger dan earphone dan kabel-kabel malang-melintang lainnya. Kita mencari cara keluar dari bandara Heathrow atau Gatwick untuk menuju pusat kota London dan teringat bahwa naik Underground pastinya cara paling gampang dan murah. Kita teringat bahwa akamsi, atau anak kampung sini, menyebut Underground dengan istilah Tube. Kita juga teringat bahwa kita menyimpan secarik peta Underground lecek di tas, yang sudah kita cetak sembunyi-sembunyi di kantor sebelum resign sekitar dua bulan lalu,dengan harapan kita ada niat mempelajari dan menghafalkannya sebelum terbang ke London. Tentu saja kita lupa melakukannya. Kita berusaha mencari tahu bagaimana cara beli tiket. Grup whatsapp LPDP UK sudah ngobrol panjang-lebar tentang trik-trik bertahan hidup hari-hari pertama, dan kita juga sudah membaca banyak tentang kartu Oyster, yang bisa dipakai buat keliling kota naik apa saja kecuali becak Inggris mahal-alias-perangkap-turis yang mangkal di seputar Westminster Bridge. Kita menunggu was-was di hadapan mesin tiket setelah memasukkan kartu kredit mama ke dalam slot, kemudian mesin memuntahkan kartu Oyster baru gres warna biru langit. Yes. Hari pertama kita tiba di London, kita tersasar parah dan salah naik Tube yang menuju ke arah berlawanan. Oh ya, kita juga mendapati bahwa sebagian besar stasiun Tube London ternyata tidak ada lift-nya, jadi kita harus setengah mati menggeret-geret koper-koper kita naik-turun beratus-ratus tangga. Salah satu dari kita para mahasiswa-mahasiswi ini ada yang sedang hamil muda, seperti teman kita Dias Novita Wuri, tapi untungnya suaminya datang menjemput dari Belanda, sehingga ia tidak perlu melakukan kegiatan mengerikan itu. Sebagian besar dari kita kurang beruntung. Kita sampai di flat sekitar lima juta jam kemudian. Besok kita masih ada semangat keliling kota, tapi itu berarti naik Underground lagi. Ngga apa-apa lah. Di kasur, malamnya, kita lihat-lihat peta Underground lecek tadi itu dan membaca nama-nama jalur seperti District Line, Hammersmith and City Line, Piccadilly Line, Bakerloo Line, dll, dll. Apa ya bedanya Underground dengan Overground? DLR itu apa? Semua nama-nama itu berseliweran di benak kita. Bayarnya gimana, sama kayak Tube? Naik bus gimana? Kita ketiduran, lalu tiba-tiba matahari sudah menyingsing sekitar pukul delapan pagi (telat banget, di Jakarta mah jam enam sudah terang!). Sehabis mandi, kita jalan kaki ke stasiun Underground/Tube terdekat dengan berbekal peta dan paket internet yang sudah dihidupkan di bandara. Kita berniat mau melihat kastil Ratu Inggris alias Buckingham Palace. Menurut internet, kita harus turun di Green Park. Image result for buckingham palace

Buckingham Palace. Source: The Royal Family

Dua minggu pertama jalan-jalan terus sejauh duit memungkinkan (karena beasiswa belum turun). Lumayan sekalian membiasakan diri dengan kehidupan Underground London. Beberapa dari kita, seperti teman kita Dias Novita Wuri misalnya, yang sekarang belajar Sastra Bandingan, tidak bisa mencegah otak melakukan perbandingan antara Tube London dengan sistem transportasi bawah tanah negara-negara lain yang pernah kita kunjungi. Bagi yang baru pertama menginjak London, mungkin akan rada syok karena ternyata yang namanya Tube tampangnya lumayan rombeng, stasiun-stasiunnya juga sudah tua, gerbongnya panas dan pengap, dll dll. Jam-jam sibuk sih sesuai perkiraan—orang-orang berjubel-jubel memenuhi stasiun dan gerbong-gerbong Tube. Kalau jam sedang tidak sibuk tapi Tube menuju ke hotspot turis, gerbong akan penuh dan bangku-bangku prioritas biasanya diduduki pemuda-pemuda segar-bugar yang sering pura-pura tidak lihat bahwa ada orang tua/ibu hamil/orang memakai kruk yang tentunya lebih membutuhkan bangku itu. Beda dengan Jepang! pikir kita, seperti halnya teman kita Dias Novita Wuri, yang notabene butuh bangku prioritas tapi tidak enak hati mencolek orang minta bangku. Dua bulan kemudian barulah ia memperoleh pin baby on board yang dipesan online secara gratis, tapi kadang pin itu pun ngga ngaruh. Image result for tube carriage priority seat

Kursi prioritas di dalam gerbong Tube. Source: Huffington Post UK

Kita sadar bahwa orang London kebanyakan cuek-bebek. Berkat pengalaman berkali-kali naik Tube. Tapi pada dasarnya orang Inggris sopan-sopan, jadi banyak juga yang bakal menawarkan bangkunya untuk kita yang membutuhkan. Kita mulai pusing melihat banyaknya poster-poster iklan segala macam yang menutupi seluruh dinding stasiun Underground di mana-mana. “Beli ini dong!” “Pakai servisini dong!” “Nonton ini dong!” “Baca buku ini dong!” Di dalam gerbong Tube juga isinya iklan melulu. Pusing, ah. Setelah beberapa kali naik Tube, kita jadi suka terngiang-ngiang pengalaman antri di Stasiun Busway Pusat Harmoni dulu waktu pulang kantor. Neraka jahanam deh. Mendingan sumpel-sumpelan di stasiun Underground! Minggu pertama tiba di London, kita masih semangat celebrity-spotting di dalam Tube karena kita pernah membaca artikel online entah di mana bahwa beberapa seleb Inggris juga suka naik Tube, seperti misalnya Eddie Redmayne yang main Fantastic Beasts dan bahkan mantan PM David Cameron waktu beliau masih sering pencitraan. Setelah beberapa minggu kita pun tidak lagi usaha celeb-spotting di dalam Tube karena orang Inggris ngga suka dilihatin! Dua bulan kemudian, masih nol seleb. Kita mulai berhenti nyasar dan berhenti turun di stasiun yang salah. Tapi juga kita mulai suka ketiduran di dalam Tube. Tetiba capek naik Tube setelah dibikin syok oleh 136 anak tangga horor di stasiun Goodge Street, tapi untungnya kita pun mulai hapal nomor bus dan jurusan-jurusannya. Lagian lebih murah juga ongkosnya. Bus ternyata ngeri sekali macetnya karena jalanan London biasanya sempit-sempit dan mobilnya juga sejibun. Ketika dikejar waktu, kita pun kembali beralih naik Underground tercinta. Demikianlah kehidupan bawah kita di kota London,Inggris.  

Comments