..sambungan dari Bagian 2
Tanya Jawab dengan Pemateri
Bagaimana dengan pemanfaatan EOR di area lepas pantai?
Ide menarik, tapi belum sampai ke sana. Mungkin harus ada yang dicoba. Tapi pertimbangan yang perlu dipikirkan untuk offshore adalah ketersediaan space di offshore platform serta keekonomiannya. Tambahan juga, jangan sampai energi dan biaya untuk produksi dengan metode EOR lebih besar dibandingkan yang dihasilkan.
Menurut pemateri, salah satu penghambat berkembangnya EOR di Indonesia adalah dari sisi regulasi. Bagaimana dengan regulasi yang mengatur EOR di Indonesia sejauh ini?
Sejauh ini udah diatur bahwa setiap K3S wajib memasukkan program EOR untuk plan of development (POD) phase 2 dan 3. Harus ada komitmen. Menurut saya, permasalahannya adalah kurangnya komitmen dari K3S untuk melakukan kegiatan EOR.
Untuk POD idealnya ada program penambahan sumur, waterflooding, biasanya harus diterusin ke EOR, tetapi penerapannya masih lumayan sulit mungkin dari faktor biaya, technical (pengetahuan dan pengalaman).
Salah satu peserta diskusi pernah mengalami watercut hingga 99% di Tarakan untuk diproduksi. Bagaimana solusinya?
Masalah klasik, kalau watercut 99% dilihat lagi, apakah sudah di bawah water-air contact. Beberapa perusahaan melakukan single well tracer test (SWTT) atau mungkin 4D seismic jadi mereka tau water air contact-nya di mana.
Cara paling awal yang sering dilakukan adalah workover dan well service, misal reperforasi, lapisan produktif dibuka lagi atau mungkin sumur dilakukan acidizing dan fracturing.
Untuk sumur dengan high watercut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa masih coba diinjeksikan di situ, tapi sebaiknya chemical jarang inject di bawah water-air contact level.
Beberapa teknologi yang dikembangkan ITB yaitu dengan menggunakan epoxy resin yang berfungsi sebagai water shut-off agent. Juga beberapa produk yang sukses dari Schlumberger telah diimplementasikan di lapangan.
Apakah ada limitasi sumur berpasir untuk pelaksanaan EOR?
Pasir itu masalah klasik di sandstone dan masih bisa dicegah dengan beberapa metode mekanis. Kalau masalah kepasiran mungkin masih bisa dihindari dengan reduce rate misalnya.
Permasalahan sering terjadi ketika injeksi EOR di karbonat. Kalau karbonat, ketika kita injeksikan chemical sering terjadi plugging akibat scaling contohnya Ba2SO4 atau Ca2CO3, akibatnya permeabilitas bisa turun. Sementara surface facilities pasti akan kena semua. Perlunya uji laboratorium yang detail khusunya pada batuan karbonat.
Diskusi lain di luar topik pembahasan utama
Terlepas dari fokus diskusi, usaha apa yg sudah dilakukan oleh sektor migas utk mendukung renewable energy di Indonesia? Contoh: mobil listrik gaining market.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa migas akan segera habis, filosofi yang terkenal: “jaman batu berakhir bukan kehabisan batu, tapi teknologinya dan alternative yang berkembang ke jaman besi dan tembaga”. Artinya tidak harus menunggu migas habis untuk bergerak ke teknologi renewable energy.
Total, Shell, BP Chevron, etc. sudah mulai bergerak ke renewable energy karena memang mereka sadar bahwa dunia sedang bergerak ke arah sana. Hal menarik yang saya baca adalah, justru saat ini yang menjadi tulang punggung funding untuk renewable energy adalah dari perusahaan besar migas di atas. Mereka berlomba untuk menjadi pemain/supplier energi untuk masa depan.
Kalau di Scotland, British Petroleum (BP) jadi penyuplai terbesar funding untuk renewable energy, sehingga pembangkit listrik tenaga diesel/coal sangat kecil, mostly fokusnya angin, solar dan nuklir.
Untuk Indonesia, saya masih harus mencari data soal oil company yang support renewable energy, beberapa program sih mostly masih berkecimpung seputaran lingkungan dan community development.
Chevron Indonesia pun sudah turut bermain dalam pasar renewable (geothermal di Salak). Star Energy sudah mulai bergerak ke renewable. Statoil pun berencana untuk ganti nama, yaitu untuk menghilangkan kata “oil” di belakangnya.
Di masa depan apakah tambang minyak akan dikurangi?
Selama demand turun, pasti permintaan akan turun juga.
Indonesia masih defisit minyak gila-gilaan, hampir separoh masih dieksport. Menurut saya, kekurangan pasokan ini bisa dikejar dengan EOR. Kebutuhan minyak kita sangat tinggi dan meningkat setiap tahunnya tapi produksinya masih sangat sedikit.
Kalau dari RUEN, hingga 2050 gas masih ditargetkan 24% dan minyak 20%. RNE akan menyumbang 31%.
Bagaimana dengan teknologi mobil listrik, terkait berita Oktober-November 2017 lalu di mana Presiden Jokowi mencanangkan regulasi 20% mobil listrik?
Untuk teknologi mobil listrik, masih butuh waktu panjang untuk konversi, mobil listrik dijual murah pun akan kurang laku. Karena Indonesia masih krisis pasokan listrik disebagian wilayah tanah air. Saat ini masih 87-92% di Indonesia yang dapat listrik.
Tambahan juga bahwa transisi mobil konvensional ke batere akan sulit karena alasan mahal, batere-nya sendiri harus diganti beberapa tahun sekali. Tesla, contohnya, tidak pernah membahas penggantian batere.
Tambahan lain mengenai RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dan mobil listrik yang masih belum clean kalau sumber listriknya sendiri dari batubara. Sebetulnya untuk clean energi, Indonesia punya geothermal. Indonesia merupakan negara dengan potensi terbesar dunia, namun kenyataannya Implementasi kita masih sangat rendah bahkan masih di bawah Filipina dan USA.
Bagaimana dengan emisi karbon?
Salah satu peserta diskusi, Richard Silitonga, menghadiri presentasi di kampusnya (University of Sheffield). Pembicaranya adalah seorang mantan pejabat Shell, dengan topik “Dinosaur and Phoenix,’ yaitu perumpamaan mengenai strategi perusahaan migas di masa renewable energy. Kondisinya adalah selama demand energi tetap tinggi, orang akan tetap menggunakan fosil fuel karena masalah harga dan practicality. Masalahnya sekarang adalah bagaimana mengurangi emisi karbon. Perusahaan energi besar dunia sama sekali tidak ada investasi untuk batubara dan kebanyakan negara maju di Eropa sudah meninggalkan batubara. Padahal Indonesia produsen besar batubara. Bagaimana menghadapinya, kalau carbon tax diaplikasikan?
Riset dan produksi batu bara di Indonesia masih cukup umum, selaras dengan target persentase batu bara di Indonesian Energy Mix (tertuang pada RUEN) pada tahun 2050 yaitu sebesar 25%. Untuk case di Indonesia, kalau kita belajar dengan UK, manajemen energi UK cukup bagus. Transformasi energinya pun baik. Dulu UK maju karena batubara, lalu perlahan bergerak ke energi angin dan air ketika metode tersebut sudan proven. Kita tetap butuh cadangan energi sambil bergerak ke arah new and renewable energy, yang pada Indonesia Energy Mix 2050 sendiri ditargetkan sebesar 31%.
Penulis: Richard Silitonga (University of Sheffield) & Gabriella Alodia (University of Leeds)