Pemateri: Jackson Andreas Pola (Heriot-Watt University)

..sambungan dari Bagian 1

Tanya Jawab dengan Pemateri

Mengapa eksplorasi dianggap lebih mahal dibanding EOR? 

Kegiatan Eksplorasi tingkat keberhasilannya sangat rendah yaitu 10-30%, biaya untuk mengebor satu sumur minyak berkisar 9-90 milyar rupiah, dengan tingkat keberhasilan 10-30%, artinya dari 10 sumur yang dibor, cuma 1-3 sumur yang berhasil menghasilkan migas. Juga, tahapan penemuan sampai produksi diperlukan waktu 6-20 tahun. Sebagai pembanding, dalam beberapa studi kasus implementasi EOR di Indonesia, biaya yang dikeluarkan berada pada kisaran 10 milyar, dimulai dari studi laboratorium hingga injeksi dengan metode huff and puff. Saya pikir ini cukup ekonomis.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa pemerintah tidak buru-buru menerapkan EOR? Tetapi gencar melakukan Eksplorasi yang mahal namun dengan tingkat keberhasilan yang kecil? Padahal bila dibandingkan segi biaya mengebor satu sumur setara dengan full injection EOR satu lapangan.

Perlu dipahami bahwa EOR dan eksplorasi tidak saling menghilangkan, namun saling melengkapi. Idealnya, kegiatan Eksplorasi tetap berjalan, dan didukung dengan EOR. Mengapa dalam presentasi ini ditekankan pentingnya EOR perlu dilakukan karena melihat potensi besar serta masalah kekurangan BBM yang sekarang terjadi di Indonesia.

Dalam pengelolaan lapangan migas, teknologi kebanyakan berhenti di Secondary Recovery, lapangan diproduksikan 5-15 tahun, kemudian dilanjutkan dengan waterflooding setelah itu berhenti. Lalu cenderung mengebor sumur baru. Padahal potensi minyak yang ada masih bisa dimaksimalkan.

Setiap kegiatan seperti eksplorasi dan EOR tetap ada gambling yang tinggi. Kita tidak dapat meniadakan faktor gambling dalam implementasi EOR. Namun dengan perencanaan EOR yang matang , dimulai dari screening dan lab-test dulu, dimana ada beberapa fase yang bisa saja berhenti bila didapati kurang cocok dan tidak ekonomis. sehingga proyek bisa berhenti dan investasi tidak terlalu besar.

Berdasarkan prediksi SKK Migas, harga minyak sekarang dianggap stabil, tidak mungkin naik lagi. Apakah jika harga minyak kembali naik lagi mencapai US$ 100 per barrel misalnya, EOR akan ditinggalkan?

Harga minyak merupakan salah satu uncertainty dalam industri migas. EOR merupakan program yang rawan untuk dikorbankan bila harga minyak sangat rendah. Tahan produksi, harga minyak lagi rendah. Harga minyak rendah karena minyak berlebih. OPEC lalu mengadakan rapat untuk menahan produksi agar harga tidak turun lagi. 2004 keluar OPEC, 2016 masuk, lalu keluar lagi. Indonesia tidak terikat untuk mengurang produksi.

Waterflooding paling murah, sebelum EOR. Paling aman. IOR: waterflooding juga. IOR (Improved Oil Recovery), itu mirip-mirip sama EOR.

Di mana lokasi terbaik untuk menerapkan EOR? Di sumur yang masih ‘hidup’ atau yang sudah ‘mati?’

Idealnya dipilih sumur injeksi ‘hidup’ yang memiliki connectivity yang baik dengan sumur produksi, juga tergantung mau pakai metode EOR apa. Seperti contohnya untuk chemical EOR Idealnya diinjeksikan pada sumur di bawah water oil contact (WOC) untuk menghindari kontaminasi air formasi. Kalau harus memilih, berdasarkan pengalaman dibeberapa lapangan yang pernah diinjeksi huff and puff seperti lapangan Bajubang, Bentayan dan Sungai Lilin, biasanya mengorbankan sumur dengan watercut di atas 80%, dan jarang memilih sumur yang watercut-nya di bawah 70%.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah Faktor reservoir, fluid, surface facilities, dan lain sebagainya. Perlu studi yang komprehensif sebelum implementasi.

Bagaimana dengan water content di sumur?

Orang menghindari water content yang tinggi, umumnya akan dipilih yang diatas 90%, tapi dengan kondisi lapisan masih di atas WOC.

Orang banyak yang tidak setuju pada fracturing karena fracturing meningkatkan risiko pencemaran air dan jumpa meningkatkan risiko gempa. Apakah demikian juga dengan EOR? Apakah ada potensi masyarakat akan menghindari EOR karena adanya risiko pencemaran air? 

Masalah fracture/rekahan selalu ada pada reservoir akibat heterogenitas di reservoir. Banyak riset yang mencoba menginjeksikan CO2, dan menghindari daerah leaking agar tidak mencemari air permukaan. Ide metode EOR dengan CO2 adalah kita mengurangi CO2 di udara dan disimpan di reservoir. CO2 digunakan sebagai fluida injeksi untuk mendorong minyak.

Kalau melihat dari Schedule Mapping of Indonesia EOR Potential, Full Field EOR paling cepat tahun 2021. Sedangkan di Amerika sudah berlangsung lebih dari 30 tahun ya?

Betul sekali. Sebenarnya untuk Indonesia sudah banyak yang mengimplementasikan EOR dan sukses. Contoh keberhasilan yang pernah dipublikasikan antara lain: Lapangan Minas dan lapangan Handil. Namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa rendahnya jumlah publikasi ilmiah Indonesia dibandingkan Amerika, khususnya untuk bidang perminyakan. Hasilnya adalah sulit untuk disebutkan jumlah projek EOR, field experience, serta metodologi implemetasi di Indonesia sukses.

Mengapa Indonesia demikian terlambat? Baik fracking maupun EOR?

Untuk proyek EOR sendiri sudah beberapa pilot projek huff and puff yang dilakukan, baik perusahaan lokal juga hasil kerjasama oil company dengan pihak universitas seperti ITB, UGM dan Trisakti, etc. Tapi untuk injeksi skala besar, memang masih terhambat pada masalah regulasi yang panjang dan ribet. Contohnya ITB punya banyak successful story, contoh terbaru hasil kerjasama dengan PT. PERTAMINA EP di lapangan Tanjung.

Dari data yang diperoleh, implementasi EOR di Indonesia bias dikategorikan sebagai: tahapan Development, Pilot/field trial dan EOR studies and preparation.

Tahapan Development ada di lapangan Duri yang operasikan oleh KKKS Chevron dengan metode Steam Flood dimulai pada tahun 1974, dan telah terbukti (Proven) memperoleh tambahan 1-billion-barrel oil kira-kira dari tahun 1983 hingga 2008. Duri merupakan salah satu projek EOR steam flood paling sukses.

Untuk tahapan Pilot/Field Trial dilakukan oleh Chevron di lapangan Minas menggunakan metode  Alkaline- SurfactantPolymer, dan memberikan hasil yang sangat baik. Seperti halnya metode Surfactant Polymer yang dilakukan Medco di lapangan Kaji mengindikasikan hasil memuaskan.

Sedangkan untuk EOR studies and preparation sejauh ini telah dilakukan tujuh lapangan antara lain: lapangan Sukowati (PT.Petrochina), Tanjung (Pertamina EP), Malibur (EMP), Jatibarang PEP, Kulin (CPI), Gemah (PT.Petrochina) dan Rantau (Pertamina EP).

Mengapa pemateri mengadakan riset dengan chemical? Bukan CO2 atau steam / hot water, misalnya?

Karena riset chemical memiliki cakupan yang luas. Bisa menjangkau berbagai property batuan dan fluida reservoir. Juga chemical seperti Alkaline, polimer serta surfactant lumayan kompleks karena bisa dalam kondisi yang bercampur maupun tidak.

Jadi menurut aku chemical EOR yang paling jadi primadona saat ini baik di Indonesia maupun dunia. Beberapa metode EOR seperti CO2 dan steam punya berbagai keunggulan juga keterbatasan. Seperti percuma kita menginjeksikan steamflood untuk reservoir yang cukup dalam karena steam akan berubah menjadi air. Contoh lain kalau nitrogen, hanya digunakan untuk lapangan dengan reservoir yang tipis dengan alasan gravity segregation.

Dari penjelasan di atas, apakah metode chemical memiliki risiko yang lebih tinggi, namun secara garis besar masih lebih fleksibel?

Melihat penjelasan sebelumnya, bisa dikatakan kira-kira seperti itu. Proses Chemical EOR adalah yang paling kompleks untuk dipelajari, tetapi sekalinya kita bisa ya semua bisa. Analoginya seperti waktu belajar mobil atau motor. Kita berusaha untuk bisa mengendarai yang paling susah, sehingga ketika kita sudah dapat SIM yang paling sulit, SIM yang lain kita dapat dengan mudah mendapatkannya.

Kalau pakai chemical flooding, apakah ada efek pada hasil minyaknya?

Idealnya kalau injeksi chemical akan terjadi reaksi fluida-fluida juga fluda batuan yang biasanya dapat diuji di laboratorium. Untuk di field dilihat dengan adanya microemulsion pada minyak yang diproduksikan.

Bagaimana penerapan EOR dengan microbial, akustik dengan electromagnetic?

Microbial adalah menginjeksikan mikroba ke dalam formasi, tujuannya untuk meningkatkan permeabilitas batuan, menurunkan viskositas oil sehingga lebih fluid juga beberapa mampu menurunkan interfacial tension (IFT) antara minyak dan air.

Konsep metode Akustik adalah dengan memberikan getaran disurface,konsepnya hamper mirip dengan vibroseismic. Pernah diujicobakan di Rusia dan berhasil. Namun metode ini belum berkembang dengan pesat.

Metode EOR lainnya adalah Elektromagnetik (EM), dimana disumur produksi dipasang muatan positive dan negative pada sumur injeksi. Listrik kemudian dialirkan dari anoda ke katoda, tujuannya untuk merubah wetabilitas batuan dari oil-wet menjadi water-wet .Nanti harus dilihat dari jenis batuannya. Sejauh ini belum pernah benar-benar dicoba implementasi skala besar.

Apakah metode akustik hanya dapat digunakan untuk sumur dangkal? Bagaimana dengan metode EM?

Idealnya untuk metode Akustik untuk sumur dangkal, mengingat jangkauan getaran yang cukup rendah. Untuk metode Elektromagnetik sepertinya bisa untuk jauh juga, tapi tergantung seberapa besar pasokan listrik dan perhitungan ekonomisnya.

..bersambung ke Bagian 3.

 

Penulis: Richard Silitonga (University of Sheffield) dan Gabriella Alodia (University of Leeds)

Comments