Namira Daufina, MA New Media University of Leeds.
Leeds. Semilir angin sejuk menyapa saat pertama kali kaki ini menginjak tanah Britania. Hingga hari ini, hembusan angin tersebut masih terasa lekat meski musim dingin telah menginjak pertengahannya. Semester kedua baru saja dimulai. Setengah perjalanan lagi dari satu putaran penuh sebagai mahasiswa postgraduate di kota yang merupakan bagian West Yorkshire ini.
Sampai hari ini, UK masih terasa seperti mimpi. Terlalu indah untuk dikenang hanya dalam sekali bayang. Usaha yang ditempuh untuk sampai di titik ini terbayar lunas. Meski seiring berjalannya waktu, satu kesadaran menepuk pundak dengan halus. Perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai ketika perkuliahan bergulir di akhir September 2017 lalu. Perjuangan panjang itu kini bahkan belum setengahnya.
Masih banyak peluh yang akan menetes, beriring dengan doa dan usaha yang tak putus. Cerita ini tak sepenuhnya manis, tak juga seutuhnya berbalut perih. Perpaduan keduanya pantas dikenang, salah satunya lewat kisah yang layak dibagi untuk jadi bekal semangat dan refleksi yang mungkin saja bermanfaat bagi siapapun kamu yang sedang membaca tulisan ini.
Kuliah di Leeds
Menempuh perjalanan demi sebuah gelar MA dari School of Media and Communication ternyata memberikan tantangan yang jauh lebih besar dari apa yang pernah terbayang sebelumnya. Sebagai gambaran, di University of Leeds dalam satu semester hanya tersedia tiga mata kuliah, dengan dua mata kuliah wajib dan satu mata kuliah pilihan. Namun, satu mata kuliah biasanya terbagi dalam dua jenis kelas yakni lecture class dan seminar class.
Sedangkan untuk mata kuliah yang mengandalkan praktik, maka akan disediakan workshop class. Sehingga dalam seminggu akan tersedia setidaknya enam kelas yang harus diikuti dengan durasi masing-masing sekitar 1–2 jam. Mungkin sekilas yang terbayang adalah jadwal kuliah yang lenggang namun pada kenyataannya, lima hari dalam seminggu masih terasa kurang untuk mengoptimalisasi dan mengerjakan semua tugas yang ada.
Berada pada fase sebagai seorang mahasiswa postgraduate, banyak hal yang harus segera direset. Kini saatnya untuk berpikir kritis, menggali sesuatu lebih dalam dengan banyak membaca dan menganalisis. Menggunakan setiap metode yang ada untuk kemudian merekonstruksi ulang teori dan fakta yang tersaji di depan mata.
Ini bukan lagi tentang siapa yang bersuara paling lantang, tapi bagaimana suara tersebut mampu memberikan sumbangsih pada perkembangan yang akan berlanjut di kemudian hari. Suara kita tak lagi berlandasan kuat jika hanya berisi opini dan bukan pandangan kritis dan mengacu pada teori yang sudah dikembangkan sebelumnya. Hasil kontruksi analisis fakta empiris dan teori lah yang kemudian pantas disampaikan.
Pada awalnya, dengan pengalaman yang sudah dikantongi, mungkin terasa sebagai bekal yang cukup untuk menuntaskan pertanyaan esai yang diberikan. Namun pada kenyataannya, gelas yang kita bawa ke dalam ruangan kelas harus lah gelas kosong yang siap diisi. Bukan gelas penuh yang akhirnya hanya akan tumpah dan penuh sesak sehingga tak memiliki pembaruan ilmu.
Pengalaman kerja jelas akan menjadi dukungan ilmu yang akan berguna, tapi jangan jadikan itu alasan untuk merasa mengetahui segalanya. Karena menyelam dalam perjalanan menuju gelar master, jauh lebih besar daripada itu. Membaca sebanyak mungkin, berdiskusi sesering mungkin, membuat janji dan bertemu dengan dosen acapkali menjadi alternatif yang bisa menawarkan wawasan cakrawala terbuka lebih lebar.
Menyandang status mahasiswa postgraduate mungkin tak menawarkan banyak perbedaan dengan mahasiswa bachelor lainnya. Absensi wajib dipenuh, tidak boleh terlambat masuk ke kelas, deadline tetap tersaji dan harus dipenuhi dan diwarnai dengan kegiatan organisasi di luar jam perkuliahan. Namun bedanya, pemikiran kritis yang harus dibangun dari analisa yang tajam pada tulisan dan argumen yang dihasilkan datang tidak hanya dari sesi pelajaran di dalam kelas, tapi dari pemahaman yang harus dibangun seorang diri.
Merasa Sepi
Perjalanan itu kadang terasa sepi, karena semua bergantung pada diri sendiri. Bisa saja kita bertemu dosen dan berdiskusi, atau berinisiatif membuat grup diskusi dengan teman sekelas, namun pada akhirnya semua harus kembali pada diri sendiri. Sejauh mana kaki ini membawa niat pada mengunjungi ruang kerja dosen atau mengajak teman sekelas berdiskusi atau bahkan mampukah hati mengalahkan keinginan menonton series terbaru keluaran situs streaming online demi membaca jurnal ilmiah yang termasuk dalam reading list di mata kuliah keesokan harinya.
Dengan esai yang berjumlah 3500–5000 kata yang mengintai, project mingguan yang terus memaksa untuk dianalisa, terkadang ada titik di mana semua terasa berat di pundak. Tapi ketika niat itu sudah bulat, seharusnya perjalanan seterjal apapun tidak akan menghentikan langkah.
Salah satu sarana pelepas penat terbaik yang bisa dilakukan (dari pengalaman pribadi) adalah berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan sesama warga Indonesia di UK. Mereka lah yang akan menjadi keluarga dan siap menopang di saat-saat terberat itu. Tidak heran, di tengah himpitan tugas yang besar, menjadi pengurus PPI dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada jadi jalan keluar dari kepenatan yang lekat.
Ada banyak cara dan tentunya akan berbeda bagi setiap orang, tapi ketika semua sedang terasa berat ingatlah untuk berbagi. Lebih baik keluar kamar, bercerita, bertemu orang lain, mencari kegiatan daripada memendamnya dan tenggelam bersamanya. Karena terkadang yang kita perlukan adalah berhenti sejenak untuk mempersiapkan diri sebelum kemudian berlari lebih kencang lagi mengejar titik yang dipatok sebagai tujuan.