Material organik dapat berubah menjadi minyak jika berada pada kondisi oil window, atau berubah menjadi gas jika berada pada rentang gas window. Salah satu karakter oil window dan gas window adalah adanya rentang tekanan dan temperatur tertentu yang membantu proses pembentukan minyak dan gas. Lima elemen penting dalam proses pembentukan sumber daya minyak dan gas (migas) adalah: (i) Source rock, atau batuan induk, yang merupakan tempat terbentuknya migas; (ii) Proses migrasi fluida minyak dan gas dari source rock; (iii) Batuan reservoir yang merupakan tempat terakumulasinya minyak dan gas; (iv) jebakan (trap) di mana minyak dan gas terjebak, dan (v) seal atau lapisan kedap. Di antara lima elemen tersebut, batuan shale (serpih) berperan ganda yaitu sebagai source rock dan trap akibat permeabilitasnya yang rendah. Jika lima elemen tersebut berada di lima lokasi yang berbeda, maka sumber migas tersebut disebut sebagai sumber migas konvensional. sementara jika lima elemen tersebut terdapat pada satu lokasi yang sama, maka disebut sebagai sumber migas non-konvensional, contohnya Coal-Bed Methane (CBM), tight sand, gas hydrate, shale gas dan shale oil.
Sumber migas yang dikembangkan dan diproduksi selama ini oleh operator migas adalah sumber konvensional, sedangkan diperkirakan minyak dan gas yang tertinggal dan tidak bermigrasi masih lebih banyak lagi sehingga masih tersimpan di source rock yang berupa shale. Saat ini, potensi migas yang tidak bermigrasi dan tertinggal di source rock itulah yang tengah gencar dikembangkan. Alih-alih mencari batuan reservoir, operator migas saat ini mencari minyak dan gas langsung ke sumbernya.
Secara umum, proses yang dilalui oleh operator migas untuk mengelola dan mengembangkan sumber konvensional maupun non-konvensional adalah sama. Secara khusus yang memberdakan adalah proses hydraulic fracturing (perekahan batuan) dan horizontal drilling (pemboran sumur horisontal) yang harus dilakukan untuk mengembangkan potensi shale gas dan shale oil. Kedua proses tersebut diperlukan akibat dari sifat batuan shale yang memiliki permeabilitas yang rendah.
Bagaimanapun, tidak semua batuan shale dapat memiliki potensi migas. Terdapat beberapa syarat seperti tingkat kematangan (maturation), kandungan material organik, ketebalan batuan sumber, mineralogi, tekanan pori-pori, serta kegetasan batuan (brittleness). Batuan yang bersifat getas akan mudah patah. Menurut Badan Geologi Indonesia, Indonesia memiliki potensi spekulatif shale gas sebesar 574 trilyun kaki-kubik dan shale oil sebesar 11 juta ton. Terdapat pula perbedaan karakteristik potensi shale gas dan shale oil di Indonesia bagian Barat dan Timur yang disebabkan oleh perbedaan proses pembentukan. Indonesia bagian Timur didominasi oleh marine shale, sedangkan Indonesia bagian Barat didominasi oleh non-marine shale. Penelitian mendalam untuk mengetahui karakteristik batuan shale di kedua area perlu dilakukan agar teknologi serta teknik ekstraksi yang sesuai dapat dikembangkan.
Tantangan utama pengembangan shale gas di Indonesia adalah biaya, jejaring distribusi migas, regulasi (bagi hasil dan faktor risiko), serta isu sosial dan lingkungan akibat dampak pengeboran dan proses hydraulic fracturing. Mengingat sumber shale gas dan shale oil di Indonesia berada pada lokasi yang cukup dalam (~3 km), potensi dampak pencemaran air tanah akibat injeksi campuran pada proses hydraulic fracturing dan efek getaran (tremor) masih sangat minim, namun bukan berarti hal tersebut dapat luput dari perencanaan. Selain itu, prospek migas di Indonesia, utamanya pada cekungan-cekungan (basins) yang belum dieksplorasi di bagian Timur.
Catatan kaki:
Film dokumenter mengenai pro-kontra proses hydraulic fracturing dapat dilihat di: https://www.youtube.com/watch?v=6mp4ELXKv-w (Gasland – Pro) dan https://www.youtube.com/watch?v=2cKhY2Edt2Q&list=PLE2AB13894C2961B7 (Fracknation – Kontra).
Penulis: Ngurah Beni Setiawan (Imperial College London) dan Gabriella Alodia (University of Leeds)