Artikel ini merupakan ringkasan eksekutif dari riset berjudul sama yang dilaksanakan pada Maret-Juli 2017. Riset ini beranggotakan Ami Raisya Syanalia (University College London), Arsyan Hilman Sasoni (University of Aberdeen), Fadilla Noor Rahma (University of Manchester), Gabriella Alodia (University of Leeds), Muhammad Dwikyriza (University of Aberdeen), Niesharsa Triaswari (University of Aberdeen), Putu Teguh Dharmawijaya (Imperial College London), dan Wahyu Reza (University of Newcastle).

Sebagai salah satu negara dengan kepadatan penduduk terbesar ke-4 di dunia, Indonesia memiliki kebutuhan akan energi yang sangat tinggi. Peningkatan taraf hidup masyarakat, jumlah kendaraan bermotor, serta jumlah industri berkebutuhan listrik besar layaknya setara dengan peningkatan produksi sumber energi dalam negeri. Terlebih, Indonesia masih memiliki elastisitas energi < 1, yang mencerminkan bahwa pertumbuhan konsumsi energi masih lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Khusus pada sektor migas, sejak tahun 2013 Indonesia telah menjadi negara net importir minyak bumi. Menurut skenario BPPT pada OEI-2016 (BPPT, 2016) pun, impor minyak bumi ini kemudian akan diikuti oleh impor gas bumi pada tahun 2027 dan batu bara pada tahun 2046. Tanpa adanya antisipasi dalam penyediaan energi dalam negeri, krisis energi nasional dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun ke depan bukan merupakan sebuah hal yang mustahil.

Dalam OEI BPPT lima tahun ke belakang (2012-2016) Indonesia memiliki dua permasalahan besar di bidang energi yaitu: (1) Kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terus meningkat tidak setara dengan penurunan produksi, serta (2) Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang terhambat baik dari sisi teknologi dan pendanaan. Pada dasarnya, kebutuhan akan BBM yang tinggi ini terjadi karena keterbatasan teknologi transportasi yang hingga kini masih didominasi oleh teknologi berbahan bakar minyak. Sementara, jumlah kilang minyak di Indonesia sangat terbatas. Selain itu, tanpa adanya peningkatan eksplorasi dan produksi, diperkirakan cadangan minyak yang ada hanya akan bertahan selama 12 tahun ke depan. Pengembangan EBT sendiri telah tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di mana persentase EBT pada tahun 2015 yang hanya 5% diamanatkan untuk meningkat hingga 23% pada tahun 2025 (DEN, 2016). Kenaikan sebesar 18% dalam kurun waktu 10 tahun tentunya merupakan sebuah target yang cukup ambisius jika disandingkan dengan fakta akan minimnya komponen domestik dalam teknologi EBT ini. Atas dasar tersebut, Indonesian Scholars Forum bidang Science and Technology tahun 2017 berinisiatif untuk mengadakan riset mengenai skema investasi baik dalam bidang minyak dan gas (migas) maupun EBT.

Pemerintah Indonesia baru-baru ini menerapkan sebuah regulasi baru terkait produksi migas, yaitu pengalihan sistem fiskal PSC Cost Recovery menjadi PSC Gross Split. Dengan skema terbaru, kontraktor minyak akan mendapatkan bagian lebih besar dari keseluruhan blok dibanding pemerintah (>50% baik untuk blok minyak maupun gas) dengan catatan seluruh biaya produksi akan ditanggung oleh kontraktor. Tujuan dari sistem ini ialah untuk meningkatkan efisiensi kontraktor selama masa produksi. Maka dari itu, studi komparasi dari tiga sistem fiskal migas yaitu: (1) Concession, (2) PSC/PSA, serta (3) Service Contracts dilaksanakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem. Analisis akan penerapan PSC Gross Split pun akan dipaparkan untuk mengetahui potensi pengembangan investasi migas di Indonesia sendiri.

Sementara dalam bidang EBT, Indonesia masih belum memiliki skema investasi yang cukup jelas dan kuat. Sebagai contoh, regulasi tentang Feed-in Tariff yang telah dimulai tahun 2009 (Permen ESDM 31/2009) masih terus menerus diperbarui. Berkaca dari sistem fiskal migas, studi komparasi dari empat skema investasi EBT yaitu: (1) Feed In Tariff; (2) Renewable Obligation; (3) Contract for Difference, serta; (4) Carbon Tax juga dilaksanakan.

Penerapan sistem fiskal migas serta skema investasi EBT di Indonesia tentunya tak terlepas dari perkembangan teknologi serta kondisi ekonomi di Indonesia di masa mendatang. Laporan penelitian ini harapannnya dapat menjadi buah pikiran dan rekomendasi yang relevan dengan kondisi Indonesia di masa kini hingga 5-10 tahun ke depan. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (Saaty, 1987; Saaty, 1990; Vaidya et al., 2006). Metode ini seringkali diaplikasikan dalam pengambilan keputusan multi-kriteria, perencanaan dan alokasi sumber daya, serta resolusi konflik berkat kemampuannya dalam simplifikasi sistem-sistem yang kompleks dari berbagai perspektif.

Melalui studi literatur, didapatkan sembilan kriteria untuk memperbandingkan satu sistem fiskal migas dengan yang lain. Kesembilan kriteria, yang tidak disusun secara hierarkis karena keuntungan bagi pemerintah dan bagi investor dianggap sama, terdiri atas: (i) Kontribusi pendapatan migas bagi negara; (ii) Maturitas industry migas; (iii) Iklim investasi; (iv) Insentif fiskal; (v) Kepastian hukum; (vi) Kestabilan politik; (vii) Ketersediaan tenaga ahli; (viii) Kondisi geologi, dan; (ix) Pembagian risiko. Melalui proses AHP, faktor-faktor yang dianggap terutama dalammendukung pelaksanaan sistem ini antara lain ialah maturitas industri migas, iklim investasi, serta kondisi geologi dan maturitas lapangan migas di Indonesia. Menurut penelitian kami, dibandingkan dengan sistem concession dan service contract, sistem fiskal gross split masih merupakan sistem yang paling relevan untuk diterapkan di Indonesia. Lebih jauh lagi, lahirnya Peraturan Menteri No. 27/2017 mengenai perubahan PSC Cost Recovery menjadi Gross Split dirasa masih kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini utamanya akibat terlalu besarnya efisiensi yang harus dilaksanakan kontraktor pada capital expenditure-nya serta tetap besarnya nilai pajak efektif di Indonesia meskipun base split yang dijanjikan kepada investor lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya.

Sementara untuk sektor EBT, didapatkan sepuluh kriteria yaitu: (i) Kestabilan pasar bagi investor; (ii) Pertumbuhan industry lokal dan lapangan kerja; (iii) Maturitas industri EBT; (iv) Biaya investasi; (v) Fleksibilitas rancangan terhadap kebijakan; (vi) Efek terhadap pengembangan teknologi; (vii) Efek terhadap harga listrik pasar; (viii) Efektivitas untuk mencapai target; (ix) Kompleksitas sistem, dan; (x) Kontrol pemerintah. Dari empat skema investasi EBT yang ditemukan, sementara ini FIT masih dianggap sebagai skema yang paling cocok untuk perkembangan pemanfaatan listrik tenaga EBT di Indonesia. Dengan pemberian premi jangka panjang, sistem ini diharapkan mampu untuk menyeimbangkan harga beli EBT, utamanya dalam tahap awal pengembangan. Sistem CFD, yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari FIT dinilai masih terlalu kompleks untuk diterapkan walaupun sistem ini membuka kesempatan bagi dua pihak untuk menyeimbangkan harga. Sehubungan dengan masih mudanya Indonesia dalam hal pemanfaatan listrik tenaga EBT, ketakutan akan keuntungan yang terlalu tinggi melalui sistem FIT masih dapat ditanggulangi, sehubungan dengan penerapan CFD yang cenderung lebih banyak ditemukan di negara-negara maju dibanding negara berkembang. Sistem Carbon Tax untuk saat ini dianggap kurang cocok dibanding ketiga sistem lainnya karena sementara ketiga sistem tersebut merupakan incentive-based system, penerapan skema Carbon Tax lebih berbasis ‘hukuman’ atau ‘konsekuensi’ di mana pemerintah tidak langsung memberikan insentif kepada penghasil listrik/generator.

Comments