Artikel ini merupakan ringkasan eksekutif dari riset berjudul sama yang dilaksanakan pada Maret-Juli 2017. Riset ini beranggotakan Handre Duriana (University of Lancaster), Syahfitriani Siregar (Dublin), Muhammad Idham Habibie (University College London), dan Febriana Wisnuwardani (University of Warwick).

Kebijakan Otoritas Jasa Keungan (OJK) mengenai peer-to-peer lending di Indonesia tentunya akan memberikan dampak keberbagai pelaku bisnis khususnya dalam sektor financial technology (fintech). Dampak ini juga berlaku bagi berbagai sektor terkait lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis mengenai dampak tersebut khususnya dalam konteks ekonomi makro. Dengan berdasarkan pada kerangka PESTLE (Politic, Economy, Social, Technology, Legal, and Environment), analisis ini memaparkan peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia secara umum serta menghasilkan beberapa rekomendasi sebagai pertimbangan OJK dalam menyusun regulasi tersebut.

Kebutuhan teknologi Internet di Indonesia meningkat sangat pesat, terbukti dengan meningkatnya jumlah pengguna smartphone sejak tahun 2010. Pada tahun 2021 nanti, kebutuhan akses internet diprediksi akan meningkat sebesar 7 kali lipat dibandingkan tahun 2016, dengan total sebesar 49 Exabytes di seluruh penjuru dunia (Cisco, 2017). Mayoritas dari data traffik ini sebagian besar berasal dari wilayah Asia Pasifik; salah satunya adalah Indonesia (Cisco, 2017). Selain itu, Indonesia diprediksi akan menjadi negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar ke-5 setelah China, Amerika Serikat, India dan Brazil (Brinded, 2017), dengan nilai pertumbuhan GDP sebesar $5.424 trillion. (Brinded, 2017).

Tentunya hal ini menarik perhatian para investor untuk memberikan peluang bisnis ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk mengembangkan start-up, khususnya di bidang Information and communication technology (ICT). Salah satu peluang start-up dengan memanfaatkan teknologi internet ini adalah Financial Technology atau biasa disebut sebagai Fintech. Fintech merupakan salah satu inovasi digital yang memberikan pengaruh signifikan terhadap industri perbankan maupun bisnis-bisnis berbasis IT. Istilah fintech sendiri masih multi tafsir, namun secara umum dapat didefinisikan sebagai bentuk pelayanan finansial yang lahir dari perpaduan sektor finansial dan IT yang berfokus pada pemanfaatan teknologi untuk berinovasi pada produk serta jasa finansial (Sironi, 2016; PwC, 2016). Salah satu tujuan fintech adalah untuk menyediakan jasa keuangan kepada pasar yang lebih luas melalui IT (Sironi, 2016).

Peluang fintech di Indonesia cukup menjanjikan dengan jumlah pengguna yang mengakses internet melebihi 100 juta pengguna dengan rentang usia 25-29 tahun (Indonesia and DailySocialid, 2016). Pengguna dengan rentang usia tersebut lebih mudah beradaptasi dengan perubahan teknologi yang signifikan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah startup Indonesia di bidang fintech dari tahun 2013 hingga 2016 sebesar 71%, sesuai dengan Gambar 1 (Indonesia Fintech Report, 2016). Menurut Indonesia’s Fintech Association, pertumbuhan pemain fintech yang terdeteksi selama tahun 2015 hingga 2016 mencapai 78%. (Indonesia and DailySocialid, 2016).

Sebagai negara dengan pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki potensi yang besar sebagai lahan subur untuk berkembangnya fintech. Dari 250 juta penduduk, sekitar 83,6 juta diantaranya adalah pengguna internet, dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat (CNN Indonesia, 2016). Data tersebut menunjukkan bahwa inovasi digital di berbagai sektor, termasuk fintech, memiliki peluang besar untuk mendapatkan pasar di Indonesia. Namun, saat ini secara global pemain fintech masih didominasi oleh start-up (PwC, 2016) (PwC, 2017).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri adalah lembaga pemerintahan Indonesia yang berfungsi mengatur, mengawasi, dan melindungi seluruh kegiatan jasa keuangan, baik di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB) (OJK, 2014). Sebagai lembaga yang berfungsi mengatur pelaksanaan jasa keuangan, OJK mengeluarkan kebijakan berupa peraturan dan surat edaran secara berkala dengan objek dan fokus yang berbeda-beda. Mengikuti kebijakan sebelumnya, yaitu Peraturan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis IT, pada tahun 2017, OJK mengeluarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang tata kelola dan manajemen risiko IT pada layanan pinjam meminjam uang berbasis IT. Surat edaran ini dikeluarkan karena layanan pinjam-meminjam uang berbasis IT (yang saat ini dikenal dengan istilah “peer-to-peer lending”) merupakan inovasi baru yang semakin populer dalam layanan keuangan namun belum ada kebijakan hukum untuk mengatur dan mengelolanya.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 18 sebagai fokus analisis ini tidak memiliki dampak langsung terhadap aspek politik, sosial, dan lingkungan hidup. Akan tetapi, kebijakan ini memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap aspek ekonomi, teknologi, dan legal. Hal ini cukup wajar mengingat kebijakan ini dikeluarkan OJK spesifik untuk mengelola dan mengatur secara legal tata kelola teknologi yang bergerak di bidang ekonomi. Analisis kritis ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah pada umumnya dan OJK pada khususnya. Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah antara lain:

  1. Memastikan kebijakan yang dikeluarkan berjalan sesuai aturan,

  2. Memastikan setiap pihak/pemain mematuhi aturan,

  3. Mendukung kolaborasi antara start-up fintech dan institusi perbankan tradisional yang didukung oleh penguatan pasar modal,

  4. Meningkatkan standar pengelolaan dan manajemen infrastruktur teknologi informasi (data centre, jaringan, provider, dan keamanan digital), dan

  5. Meningkatkan literasi dan tingkat penerimaan masyarakat terkait teknologi finanasial untuk memaksimalkan manfaat dari fintech bagi kehidupan masyarakat sosial.

Dalam aspek legal, analisis ini merekomendasikan OJK untuk membagi jenis sertifikat elektronik berdasarkan tingkat keamanan dan kerumitannya seperti yang dilakukan oleh European Union (O’Donoghue & Taylor, 2016) untuk mempermudah adopsi teknologi ini untuk berbagai jenis transaksi.

Comments