Indonesia memiliki target untuk mengurangi karbon hingga 29% di tahun 2030 (COP21 Paris, 2015). Sayangnya, kebijakan yang ada belum mengarah ke sana, baik dalam industri energi maupun bidang lainnya. Masa pemerintahan Presiden Jokowi yang cukup ambisius untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (saat ini hingga 5%) serta berbagai proyek pembangunan infrastruktur dinilai baik, namun patut disadari pula bahwa masyarakat Indonesia ialah masyarakat yang konsumtif dengan energi. Jangan sampai GDP naik, ekonomi digenjot habis-habisan, namun kebutuhan rakyat akan energi masih dengan pola konsumsi tinggi seperti saat ini. Ketergantungan masyarakat akan energi fosil dapat menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya reduksi emisi karbon yang telah disebutkan di atas.
Dari target bauran energi tahun 2013, terlihat bahwa sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) memiliki porsi terkecil yaitu sebesar 5% (RENSTRA KESDM 2015-2019). Pada tahun ini, minyak bumi menempati proporsi tertinggi yaitu sebesar 46%. Bergerak ke target bauran tahun 2025, terdapat lompatan yang cukup drastis hingga mencapai angka 23% pada sektor EBT, sementara proporsi minyak bumi ditekan hingga mencapai angka 25%. Hal menarik lainnya ialah, menyusul target bauran tahun 2050, kenaikan proporsi EBT serta penurunan proporsi minyak bumi tidak sedrastis yang terjadi pada kurun waktu 2013-2025 (12 tahun). Dalam kurun waktu yang lebih dari dua kali lipat (25 tahun), EBT hanya ditargetkan naik hingga mencapai angka 31% dan minyak bumi hanya ditekan hingga 20%. Di sisi lain, proporsi batu bara tidak mengalami penurunan sedrastis minyak bumi (31%, 30%, dan 25% masing-masing untuk bauran tahun 2013, 2025, dan 2050). Padahal energi batu bara dilansir sebagai sumber energi paling kotor. Pembakaran batu bara menyebabkan emisi partikulat, SOx, NOx dan logam berat yang mengancam kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Batu bara lebih kotor dibanding minyak bumi, yang proporsinya justru ditekan hingga melebihi setengahnya.
Menurut Climate Action Tracker (climateactiontracker.org), posisi Indonesia dalam memenuhi target reduksi karbon masih jauh dari proyeksi yang ‘seharusnya.’ Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan ‘posisi’ tersebut ialah dengan beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Sementara EBT masih terkendala dari segi teknis maupun non-teknis, diusulkan dua jenis sumber energi “antara” yang secara keilmuan dan teknologi tidak terlampau jauh dari sumber- sumber energi fosil konvensional. Kedua sumber energi tersebut ialah shale gas dan Coal-Bed Methane (CBM).
Berdasarkan RENSTRA ESDM 2015-2019, Indonesia masih belum memanfaatkan potensi shale gas dan CBM sama sekali. Padahal, kedua sumber energi ini terbilang lebih bersih dibanding batu bara. Belum lagi, dengan kondisi cadangan minyak Indonesia yang akan habis dalam kurun waktu 12 tahun (catatan: tanpa kegiatan eksplorasi ladang baru), pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan- kebijakan yang lebih ambisius untuk menggenjot produksi shale gas dan CBM. Jika kedua sumber energi ini digabungkan dengan kenaikan proporsi produksi gas bumi, target reduksi energi karbon seharusnya akan lebih realistis untuk dicapai, serta ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi akan berkurang. Begitu pula terhadap batu bara. Salah satu kebijakan Inggris untuk mengurangi emisi karbonnya ialah dengan mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara menjadi tenaga gas.
Argumen ini diperkuat oleh scorecard Indonesia dalam Shale Gas Policy keluaran Asia Pacific Energy Research Centre (APERC). Disebutkan bahwa dari segi akses ke Sumber Daya Alam (SDA), kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM), hingga infrastruktur, Indonesia memiliki nilai yang cukup baik. Nilai terburuk ditemukan pada sistem kepemerintahan, utamanya pada efektivitas regulasi. Hal ini sangat disayangkan, karena shale gas merupakan salah satu komoditas yang ‘menyelamatkan’ Amerika Serikat, yang kemudian disusul oleh agresivitas dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, dan Kanada terhadap eksplorasi sumber fosil non-konvensional ini. Satu kabar baik bagi Indonesia ialah, Pertamina akan segera mengebor sumur shale gas pertama di Asia Tenggara, tepatnya di bagian utara Pulau Sumatera. Namun hal ini masih dilansir kurang agresif, mengingat proporsi shale gas yang masih belum jelas tertuang dalam target bauran energi.
Kembali ke permasalahan target bauran energi dan pengurangan emisi. Proporsi batu bara yang adalah 31% pada tahun 2013 hanya ditekan hingga angka 30% pada tahun 2025. Bagaimana mungkin target reduksi emisi karbon -29% tercapai jika pengurangan proporsi batu bara, yang notabene sumber energi paling kotor, hanya -1%? Sementara gas bumi dinaikkan +6% dan EBT hanya naik +18%?
..bersambung ke Bagian 2
Penulis: Gabriella Alodia (University of Leeds)