Sejak akhir tahun 2016, Venezuela dan Brazil mengalami krisis energi besar-besaran yang berdampak pada pembatasan pemakaian listrik di berbagai lapisan masyarakat. Venezuela, misalnya, mengeluarkan kebijakan untuk memperpendek hari kerja menjadi hanya dua hari setiap minggunya, serta melarang penggunaan alat-alat elektronik yang membutuhkan tenaga besar seperti pengering rambut dan penghangat portabel. Krisis tersebut disinyalir terjadi akibat tingginya ketergantungan kedua negara tersebut pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang memasok hingga 60% kebutuhan listrik di Venezuela dan hingga 80% di Brazil. Fenomena El Niño yang melanda kedua negara tersebut menyebabkan kekeringan yang berimbas pada penurunan muka air bendungan masing-masing PLTA di bawah batas normal. Perputaran turbin yang dihasilkan kemudian tidak cukup memadai untuk dikonversi menjadi energi listrik.
Krisis energi ini dianggap unik, karena kedua negara ini dikenal sebagai salah satu penghasil energi terbesar di dunia, khususnya minyak dan gas (migas). Secara kepakaran pun, mereka memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni baik dari sisi pekerja maupun ahli. Salah satu faktor yang disinyalir menjadi salah satu penyebab krisis ini ialah kurang taktisnya perencanaan pemerintah terhadap bauran sumber energi. Pemakaian listrik oleh masyarakat yang semakin tinggi belum dibarengi dengan pasokan yang memadai dan tahan terhadap fenomena cuaca, mengingat El Niño bukan pertama kalinya terjadi pada saat itu, sehingga diversifikasi energi (selain dari PLTA) merupakan kunci. Pemasukan pemerintah yang cukup besar di sektor migas pun terlalu banyak diarahkan menjadi subsidi kepada masyarakat, baik dari segi energi hingga bahan pokok. Akibatnya pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk meningkatkan infrastruktur negara, khususnya infrastruktur pembangkitan tenaga listrik. Iklim politik yang tidak mendukung serta korupi yang cukup masif di berbagai sektor kepemerintahan turut berimbas pada terbengkalainya proyek-proyek infrastruktur pembangkitan energi listrik.
Melihat realita, Indonesia pun tidak serta merta terhindar dari serangan krisis energi di berbagai sektor. Tidak seperti cadangan gas bumi yang masih bisa bertahan hingga 50 tahun ke depan, cadangan minyak Indonesia hanya akan bertahan hingga 12 tahun ke depan (KEN, 2016) jika kegiatan eksplorasi lapangan-lapangan baru tidak dilakukan. Proyek listrik 35.000 MW yang telah dicanangkan pun masih perlu diawasi agar tidak ada lagi proyek yang terbengkalai, karena berdasarkan pengalaman fast track 10.000 MW di masa lalu, terjadi cukup banyak konflik kepentingan yang mengganggu program elektrifikasi nasional. Pemotongan subsidi energi dinilai sebagai langkah awal yang baik, sehingga pembangunan infrastruktur pembangkitan energi listrik memiliki sumber dana konstan yang lebih memadai.
Catatan kaki:
Dari segi kemasyarakatan, salah satu hal menarik yang menjadi sorotan karena acapkali dianggap sebagai usaha penghematan energi ialah kampanye Earth Hour. Pada kenyataannya, kampanye ini dinilai tidak efisien untuk kelistrikan nasional. Pemadaman serta penyalaan listrik secara masif dan serentak selama satu jam menyebabkan perubahan permintaan tenaga listrik yang mendadak, yang justru berimbas pada pemborosan energi serta biaya.
Penulis: Petit Wiringgalih (University of Manchester) dan Gabriella Alodia (University of Leeds)