Artikel ini merupakan satu dari 3 artikel terbaik “Dare To Dream, Care To Share” edisi April 2015 (Bumi, Lingkungan, dan Peradaban). Artikel ini ditulis oleh Esti Mardiani-Euers, Department of Engineering, Lancaster University.
Planet kecil yang bernama bumi ini diciptakan khusus untuk kita. Sangat indah, gratis, dengan fasilitas lengkap. Semuanya diciptakan dalam keadaan seimbang dan berkecukupan, dengan catatan — kalau dipergunakan seperlunya. Namun Sang Pencipta tidak membuat undang-undang yang memaklumatkan, bagaimana kita boleh mengekplorasi dan mengkploitasinya. Manusia cukup dibekali dengan akal,kemampuan berpikir.
Saya mulai tertarik dengan masalah lingkungan sejak mulai kuliah di Bandung. Dosen saya yang lulusan Teknik Elektro, mengambil studi S3 Ilmu Sosial dan Lingkungan di Amerika. Beliau mengajar Studi Lingkungan, satu mata kuliah wajib di tingkat pertama bersama. Beliau menstimulasi kami dengan diskusi masalah-masalah sosial dan lingkungan yang terjadi di peradaban dan di era modern ini.
Sejak itu saya mulai tertarik membaca buku-buku yang ditulis para pakar, yang kebanyakan justru dari latar belakang ekonomi atau sejarah ekonomi. Hanya Satu Bumi – terjemahan dari ‘Only One Earth’- karya Barbara Ward & René Dubos – dua-duanya ekonom. Pengantar terjemahan bukunya ditulis oleh Prof. Otto Soemarwoto, pakar lingkungan di Indonesia yang masyhur. Small is Beautiful, karya EF Schumacher, pakar ekonomi, artikel-artikelnya Arnold Toynbee – ahli sejarah ekonomi dari Inggris yang sangat peduli dengan masalah sosial dan working class, dan juga bukunya JK Galbraith, pakar ekonomi kelahiran Kanada yang tinggal di Amerika.
Ternyata pakar-pakar ekonomi justru yang banyak perhatian dengan masalah ketidakadilan dan ketidakseimbangan kemakmuran antara belahan bumi Utara dan Selatan, Barat dan Timur, tentang pengurasan energi yang tidak terbarui, yang bisa mengancam kehidupan manusia di planit yang hanya satu ini.
Tentu, saya tidak tenggelam dalam bacaan buku saja. Saya secara sadar mulai melakukan hal-hal kecil yang sederhana, seperti tidak membuang-buang makanan, reuse and recycle materials, minimize waste, dan tertarik mempelajari renewable energy.
Saya jadi terbiasa memilah ‘sampah’ bersih, seperti botol plastik, koran dan majalah, dari sampah makanan. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai saya bekerja. Setiap bulan menunggu bapak-bapak yang membawa pikulan dan keranjang untuk mengambil barang bekas yang sudah saya pilah-pilah. Kami menjadi bagian mata rantai untuk mendaur ulang barang bekas produk jaman modern ini sehingga bisa diproses kembali menjadi sesuatu yang berguna. Mas Edy dari Lembaga Ekologi juga mengajari bagaimana membuat kompos dari sisa makanan yang dicampur dengan grajen, yang dia peroleh secara gratis dari tukang kayu, atau pembuat furniture.
Saya beruntung, pernah bekerja dengan teamnya Prof Otto Soemarwoto mengerjakan proyek-proyek AMDAL. Beliau sangat membumi dan memberi contoh dengan cara yang sangat sederhana, bagaimana kita bisa ikut berperan menyelamatkan bumi kecil ini. Professor Otto mengajarkan, kalau jarak bisa ditempuh dengan berjalan kaki, ya, pergilah dengan jalan kaki. Kalau agak jauh, ya bisa dengan mengayuh sepeda. Kalau jauh sekali, baru dengan kereta api, atau mengendarai mobil. Teknologi diciptakan untuk memudahkan kita menjalani hidup, tapi juga harus digunakan dengan budaya teknologi — memahami hakekat teknologi itu diciptakan. Technology itself is neutral, but the way that people use it that makes the technology good or bad.
Adik ipar saya yang pulang melancong ke Amerika berkata, ‘Orang Amerika itu kemana-mana naik mobil. Bahkan jarak 50 meter yang bisa ditempuh dengan jalan kaki pun, mereka mengendarai mobil.’ Di Amsterdam, orang lebih suka naik sepeda. Jadi jangan heran, di dekat Stasiun Sentral ada bicycle flat empat tingkat!
Perhatikanlah, mobil-mobil produk Amerika, ukurannya besar-besar. Keponakan saya yang baru kembali menjalani pelatihan di Texas, bilang, ‘Di Texas, adalah suatu pemandangan biasa melihat mobil-mobil dengan engine besar yang boros bahan bakar berseliweran di jalan-jalan.’ Ya, mentang-mentang Texas daerah ladang minyak. Mungkin, di Jakarta sekarang, pemandangan seperti ini juga sudah biasa, ya?
Isu tentang Climate Change dan segala dampaknya sebenarnya sudah mulai muncul sejak awal tahun 1980-an. Bahkan ada film Soylent Green yang menggambarkan kota New York di tahun 2026. Tidak ada lagi pemandangan alam yang indah, padang safari, rumput hijau, kijang yang berlarian diburu leopard, atau suara burung berkicau. Itu semua bagaikan pemandangan di surga, yang hanya dinikmati oleh segelintir manusia, yang sengaja merahasiakannya dari penduduk New York. Satu-satunya makanan yang tersedia bagi penduduk hanyalah ‘soylent green’, yang dibuat dari tubuh manusia, orang-orang tua jompo. Bahkan untuk bisa melihat sebuah pohon, kita harus pergi ke Museum Ilmu Pengetahuan yang ditunggu oleh orang-orang tua.
Efek perubahan iklim global ini sudah kita rasakan sekarang. Musim yang ekstrim dan mengakibatkan banjir di belahan bumi yang dulunya tidak pernah kebanjiran. Kekeringan terjadi di belahan bumi lain yang dulu tidak pernah kekurangan air. Musim pun datang di waktu dan tempat yang tidak tepat. Ketidakseimbangan distribusi dan penggunaan energi, pengurasan energi yang sudah tidak bisa ditolerir lagi, menggambarkan ketamakan dari sekelompok manusia — terjadi di mana-mana.
Teringat kembali kenangan dengan kota Bandung di pertengahan tahun 1970-an, kota yang sejuk, selalu mendung dan gerimis. Saya harus memakai sweater atau jaket di pagi hari. Di rumah, ketika malam tiba, saya harus membungkus tubuh dengan cardigan hadiah Madam Lou, temen kursus bahasa Perancis di jaman SMA dulu.
Bandung kini tidak seperti dulu. Tidak ada lagi pohon rindang di sepanjang jalan Dago dan Cipaganti. Daerah pemukiman yang asri dan nyaman ini, kini berubah menjadi deretan pertokoan, restoran, hotel, kantor, dan pusat belanja. Jalanan sibuk dan macet. Yang lebih mengejutkan lagi, Bandung banjir! Kata yang dulu tidak pernah terdengar di telinga.

(Sumber gambar: www.infobdg.org)
Kalau Jakarta banjir, itu sudah biasa. Saya ingat di awal tahun 1980-an, saya sudah terlibat mengerjakan proyek studi pengendalian Sungai Ciliwung dalam rangka mengatasi banjir Jakarta. Bandung Banjir? Sungguh menyedihkan. Betapa kota Kembang yang telah memikat saya untuk menjadi salah satu warganya selama lebih dari dua dasa warsa, kini menjadi kota yang semrawut lalulintasnya, panas dan berdebu. Segala kenangan indah itu sirna.
Sungguh ironis, Bandung yang menghasilkan banyak pakar di bidang lingkungan, tempat keberadaan perguruan tinggi yang masyhur, tidak tercermin pada penampilan wajah kotanya. Mertua saya pernah bilang, ‘Bandung itu hanya bangga memiliki ITB, tapi tidak memanfaatkan para pakarnya untuk ikut menata kota’. Betulkah? Tapi bukankah fenomena ini terjadi juga di mana-mana?
Seorang teman di Carlisle mengirim berita, setengah rumahnya tenggelam dan dia harus mengungsi di rumah anaknya di atas bukit. Hujan lebat sudah berlangsung beberapa hari mengguyur kota, menenggelamkan sebagian besar kota bawah. Sementara email dari Genevieve di Melbourne memberitakan di sana sedang kekeringan, sehingga pemerintah menjatah pasokan air minum dan melarang penduduk menggunakannya untuk mencuci mobil atau membasahi halaman rumputnya. Di Bangladesh, musim monsoon telah merubah sawah dan tanah pertanian yang subur menjadi lautan air, terputus jalur transportasi, dan terisolir. Sejauh mata memandang, hanya air, air, dan air, hamparan banjir. Panen padi pun puso tahun itu.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua bencana alam ini? Banjir, kekeringan, kelaparan. Mencari siapa yang salah dan siapa yang memulai bagaikan mencari jarum jatuh di lantai rumahnya Beethoven, sulit menemukannya. Mungkin karena saking banyaknya, atau bahkan semua, kita, punya andil terhadap segala bencana di planet kecil ini. Karenanya, lebih baik fokus pada bagaiman kita, individu, pemerintah, komunitas, melakukan sesuatu tindakan atau gerakan sebatas kemampuan masing-masing untuk memperbaiki situasi. Ini tentu tidak mudah, karena membutuhkan niat, tekad, dan komitmen. Tapi pembimbing saya, Dr. Tych, mengatakan, ‘Yes, it is not easy, even hard, but it is not impossible’.
Alangkah indahnya jika orang-orang pinter dan mampu, mau ikut terlibat dan prihatin memecahkan masalah bumi kecil ini, rumah kita bersama. Mestinya bisa, kalau kita lakukan bersama. Kita harus bekerja sama, berkolaborasi, merelisasikan ide-ide kreatif untuk merawat dan memelihara rumah kita.
Saya ingat, Mas Yanuar pernah berkata dalam pertemuan ilmiah di KBRI, ‘Di mana ada problem, di situlah kesempatan kita melakukan penelitian’. ‘Problem itu sebenarnya sumber penelitian.’ Ya betul, mestinya dengan tambahan catatan, problem tidak hanya sekedar menjadi ladang riset-riset teoritis saja, tapi hasilnya juga bisa diaplikasikan untuk memecahkan masalah. Itulah sebabnya saya lebih tertarik dengan applied and experimental research. Dengan harapan, hasil penelitian saya juga bermanfaat, bisa diterapkan, digunakan manfaatnya bagi orang banyak.
Semoga cita-cita saya membangun lingkungan dengan prinsip-prinsip permaculture di desa bisa terlaksana. Membangun lingkungan hidup yang self-contain, embrace renewable energy, minimize waste, dan bisa ikut memberdayakan masyarakat desa, care and share. Dengan harapan cara hidup ini bisa dikopi, diadopsi oleh desa-desa lain, dan bisa mengajak para philanthropist untuk ikut membangun desa, menjadikan desa kaya dan berdaya, punya wibawa. Bukan desa yang miskin dan kekeringan, sehingga kaum mudanya meninggalkan desa, berbondong-bondong bermigrasi ke kota untuk bisa ikut menikmati kue pembangunan yang banyak dinikmati orang-orang kota. Atau jadi TKI ke negeri Jiran, Saudi Arabia, dan Hongkong, karena tidak ada pekerjaan dan sumber penghasilan di desa.
Di sini, saya sudah belajar hidup dengan cara orang desa: memanfaatkan sejengkal lahan pekarangan belakang dengan menanam kentang wortel, buncis, tomat, dll dalam pot-pot. Bahkan saya pernah memenangkan kompetisi incredible edible home garden dengan mendisain pot garden yang disabled friendly, menggunakan bahan-bahan bekas untuk membuat portable greenhouse, membuat kompos dari limbah makanan, berbagi hasil panen dengan teman dan tetangga. Di waktu liburan sekolah, saya mengajar anak-anak di museum membuat craft dari recycling materials.
Kita bisa mulai dengan aktivitas-aktivitas kecil yang sederhana, tidak perlu program muluk-muluk dan spektakuler. Dari rumah dan di lingkungan sekitar kita bisa melakukan sesuatu untuk ikut menyelamatkan planet kecil kita, rumah kita bersama. ‘Think globally, act locally.’

(Sumber gambar: browncorecycling.files.wordpress.com)
Tentu, saya masih menyimpan impian besar. Saya sedang berjalan menuju ke sana. Planet kecil ini milik kita bersama, rumah kita, yang harus dirawat dan dipelihara. Save our planet for the next generations.
Rampung
Lancaster menjelang subuh, April 2015.