Bumi, Lingkungan, dan Peradaban

Artikel ini merupakan satu dari 3 artikel terbaik “Dare To Dream, Care To Share” edisi April 2015 (Bumi, Lingkungan, dan Peradaban). Artikel ini ditulis oleh Mohammad Sihab, School of Management, University of Southampton.


Peristiwa lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dari singgasana kekuasaan oleh gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa merupakan peristiwa sangat penting dalam sejarah moderen Indonesia. Peristiwa itu sekaligus menandai berakhirnya rezim otoriter dan represif yang memegang kendali kekuasaan selama lebih dari 32 tahun  (Sihab, 2000). Dalam  rentang masa itu, strategi pembangunan sangat bertumpu pada  pembangunan ekonomi sebagai ujung tombak pembangunan orde baru. Industrialisasi yang dibangun dan pesatnya pertumbuhan konglomerasi dengan bisnisnya yang sangat menggurita tidak bisa dilepaskan dari paradigma pembangunan ekonomi orde baru yang lebih menekankan pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan itu. Tesis “besar dulu baru merembes kebawah” atau  trickle down effect itu adalah paradigma pembangunan orde baru  yang dominan  selama orde baru berkuasa itu. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sektor industri dipacu tanpa memberikan perhatian yang memadai terhadap kelestarian lingkungan. Alhasil, industrialisasi di satu sisi telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, tapi disisi lain pembangunan ekonomi itu telah menimbukan banyak kerusakan lingkungan di tanah air. Adalah Prof. Emil Salim, Menteri Lingkungan hidup pertama itu, yang berupaya keras mempertemukan konsep pembangunan dengan lingkungan, yang telah menghasilkan sejumlah gagasan tentang pembangunan berkelanjutan.

Strategi pembangunan yang amat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan banyak kerusakan lingkungan, akan tetapi, bukanlah tipikal Indonesia semata. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh industrialisasi yang telah mengabaikan variabel variabel lingkungan itu telah menjadi fenomena global. Salah satu bentuk kerusakan lingkungan yang mengemuka dan telah menjadi concern dunia internasional adalah perubahan iklim. Perubahan  iklim di bumi itu sangat terkait dengan tindakan manusia yang telah memperkosa dan mengeksploitasi alam  demi memenuhi hajat industrialisasi yang serakah  di berbagai belahan dunia, utara (negara kaya) dan selatan (negara miskin). Industrialisasi yang menegasi dimensi lingkungan itu pada ahirnya telah merusak ekosistem  atau keseimbangan alam dan menurut Prof Emil Salim (2010) hal itu telah memicu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim akibat terakumulasinya emisi gas buangan industri di atmosfer bumi yang dikenal dengan sebutan gas rumah kaca. Menurut Ismed Hadad (2010), gangguan terhadap sistem ekologi bumi yang ditimbulkan  membawa perubahan pada cuaca, iklim, curah hujan dan gangguan alam lainnya; dimana itu semua pada gilirannya mengancam existensi dan peradaban  manusia. Negara majulah yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya gangguan terhadap ekologi bumi itu karena menurut laporan Bank Dunia penyumbang terbesar emisi karbon penyebab pemanasan global berasal dari negara negara industri maju, sementara negara negara berkembang hanya menyumbang 1/3 emisi carbon (CO2) yang berasal dari bahan energi (Hadad, 2010).

Jelaslah, masalah lingkungan yang mengancam bumi dan peradaban manusia ini adalah masalah global dan  langkah-langkah penanganannya harus multidimensi dan  membutuhkan kesepakatan kesepakatan dan aturan global. Dunia internasional perlu melakukan tindakan perbaikan yang mengikat secara internasional. Isu-isu lingkungan ini terutama masalah perubahan iklim dan pemanasan global merupakan isu yang sangat strategis dan urgen, langkah langkah penanganannya tak pelak mencakup aspek aspek sosial politik yang luas dan bukan lagi dipandang sebagai persoalan teknis lingkungan semata. Harus ada pergeseran paradigma pembangunan dari paradigma pembangunan konvensional yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merefleksikan kerakusan manusia yang cenderung menjadi mahluk ekonomi yang serakah dan telah merusak keseimbangan ekosistem menuju paradigma pembangunan berkelanjutan (suistanable development) yang memasukkan konsideran konsideran ekologi atau dimensi kelestarian lingkungan dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan. Daya hidup masyarakat atau kesejahteraan masyarakat berkorelasi erat dengan persoalan lingkungan hidup karena ketidak pastian dan perubahan iklim yang begitu cepat sangat menghambat pertumbuhan ekonomi akibat penurunan produktivitas dan berpotensi menghambat pencapaian berbagai target pembangunan: swasembada beras misalnya. Seperti disampaikan Stern Review bahwa perubahan iklim telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan  menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat parah, dan karena itu harus direspon dengan kebijakan ekonomi (Ahmad, 2010); kebijakan pembangunan yang mengaitkan ekonomi dengan lingkungan atau yang populer disebut dengan suistanable development (pembangunan yang berkelanjutan).

Untuk itu, kemauan politik (political will) para pemimpin dunia untuk meratifikasi aturan aturan global dan menerapkan rencana rencana strategis dalam pembangunan terkait upaya pelestarian lingkungan guna menyejahterakan umat manusia dan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem itu merupakan suatu keniscayaan. Semua negara di dunia perlu memastikan apakah pembangunan ekonomi sudah berada pada arah yang tepat dan memanfaatkan teknologi industri dan produksi energi yang ramah lingkungan. Program pengembangan energi terbarukan  harus menjadi concern dan prioritas para pemimpin bangsa sehingga dunia tidak lagi sepenuhnya bergantung pada sumber energi non renewable utamanya pada energi yang bersumber pada fosil batubara dan minyak bumi dalam menggerakkan roda industrialisasi. Kedua sumber utama energi itu terbukti telah mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan dan mengakibatkan  pemanasan  global dan perubahan iklim yang drastis di mana semua itu tidak hanya akan mengganggu keseimbangan ekosistem tapi pada ahirnya akan mengganggu eksistensi peradaban umat manusia. Oleh karena itu semangat kebersamaan (multilateralisme) harus tegak menjadi semangat para pemimpin dunia dalam upaya mengatasi isu isu kerusakan ekologi dan tidak boleh digantikan oleh kepentingan domestik masing masing negara. Dalam waktu yang sama, adagium yang sangat terkenal ‘think globally, act locally’ menemukan relevansinya, bahwa seperti dikatakan Murdiyarso (2010), tujuan pembangunan berkelanjutan dan keberlanjutan bumi dapat dicapai melalui tindakan tindakan lokal yang proporsional. Oleh karena itu, sangat penting, masyarakat dan  kita semua untuk mulai mengubah hidup kita agar apa yang kita lakukan tidak lagi mengotori dan merusak bumi. Kita semua bisa, dan tidak perlu merasa malu memulainya dari hal hal yang sederhana. Harus ada perubahan gaya hidup dengan mulai mengonsumsi barang barang yang diproduksi dengan memakai teknologi produksi yang ramah lingkungan.

Demikianlah, ada relasi kuat antara industrialisasi sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan, bumi, dan ekistensi peradaban. Industrialisasi telah melahirkan banyak kepentingan ekonomi. Negara negara industri maju seperti Amerika Serikat dan negara negara di Eropa berkembang dan  mencapai tingkat perekonomian yang mapan karena digerakkan oleh roda industrialisasi yang sangat bergantung pada sumber energi yang berasal dari fosil minyak bumi dan batu bara yang mana itu semua telah mengakibatkan munculnya dan terkonsentrasinya emisi karbon dioksida (CO2) di atmosfer bumi yang merusak lingkungan hidup (human environment). Seperti dikatakan Prof Emil Salim (2010), bergulirlah roda perekonomian yang saling mengaitkan, industri, minyak bumi, batubara, kapital, industri otomotif, dan sebagainya dimana semua rentetan yang menggerakkan modernisasi itu bertumpu  pada fosil minyak bumi dan batubara. Human environment telah berubah, dan lingkungan hidup bukan hanya diubah oleh manusia tapi dihancurkan oleh keserakahan manusia. Pertanyaannya, masihkah dunia bisa berharap untuk meninjau kembali cara membangun bumi jika dunia utamanya negara negara industri maju yang selama berabad abad sejak revolusi industri di Inggris tahun 1750 telah menikmati manisnya dan renyahnya industrialisasi yang bertumpu pada sumber energi fosil minyak bumi dan batu bara sebagai penggerak roda industrialisasi untuk mengeluarkan kebijakan untuk menyetop, bahkan melarang pemakaian fosil minyak bumi dan batu bara itu? Masihkah dunia bisa berharap untuk meninjau kembali proses pembangunan yang berkembang selama ini agar tidak merusak keseimbangan ekosistem jika negara-negara industri maju yang mapan itu masih terkungkung oleh cara berfikir jangka pendek kepentingan ekonomi semata tanpa berfikir jauh kedepan demi keberlangsungan eksistensi peradaban umat manusia dan semesta itu?

Untuk itu, harus ada gerakan lingkungan atau lembaga lembaga internasional lain diluar lembaga lembaga mapan yang sangat hegemonik seperti World Bank, IMF, UNDP, dan WTO  untuk membahas kerusakan  ekologi dan perubahan iklim dan menekan negara negara industri dan lembaga lembaga yang hegomonik tersebut untuk membicarakan dan meratifikasi aturan aturan yang mengikat secara internasional terkait isu kerusakan ekologi dan climate change (perubahan iklim) termasuk meratifikasi aturan agar mekanisme harga menyentuh atau menanggung biaya lingkungan. Selama dunia masih tetap terkoptasi dan didikte oleh lembaga lembaga ekonomi yang hegomonik yang mengatur tata ekonomi internasional dan bekerja dalam ekonomi yang terdistorsi (distorted economy) dan selama lembaga lembaga ekonomi itu dikendalikan oleh interest group negara negara industri maju yang telah menikmati hasil industrialisasi berbasiskan fosil minyak bumi dan batu bara, maka selama itu pula impian membangun bumi, melestarikan lingkungan, dan peradaban yang menyejahterakan umat manusia hanyalah menjadi sebuah ilusi belaka? Wallahua’lam.

(Sumber gambar: http://stollmeyer.eu/)

Referensi:

Daniel Murdiyarso (2010).  Perubahan iklim: dari obrolan warung kopi ke meja perundingan. Prisma, Vol.29, No.2, P. 23-33.

Emil Salim (2010). Paradigma pembangunan berkelanjutan, dalam Pembangunan Berkelanjutan Peran & Kontribusi Emil Salim. Iwan J Azis. Dkk (Editor). Penerbit Gramedia.

Emil Salim (2010). Hadapi perubahan iklim seperti berperang. Prisma, Vol.29, No.2, P.71-80.

Ismid Hadad (2010). Perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Prisma, Vol.29, No.2, P.3-22

Mohammad Sihab (2000). Ekonomi Politik Orde Baru, Status Quo dan masa depan Reformasi. Journal Ekonomi dan Bisnis Th.5. No1, Januari.

Mubariq Ahmad (2010). Ekonomi perubahan iklim. Dari kegagalan pasar menuju ekonomi rendah karbon. Prisma, Vol.29, No.2, P.38-52.

From the same category