Artikel ini merupakan satu dari 3 artikel terbaik “Dare To Dream, Care To Share” edisi Maret (Perempuan yang Berkarya). Artikel ini ditulis oleh Esti Mardiani-Euers, Department of Engineering, Lancaster University.
Setiap orang yang memilih profesi sebagai guru, mengajar, mestinya juga punya pemikiran untuk selalu meningkatkan diri, baik di bidang keahlian, maupun di bidang yang terkait dengan segala aspek pendidikan dan proses pengajaran, termasuk juga counselling, coaching, dan mentoring. Demikian pemahaman saya. Ketika memutuskan untuk pindah profesi, dari kerja di dunia engineering consultancy ke kerja sebagai pengajar di perguruan tinggi, salah satu yang menjadi daya tarik saya adalah kesempatan untuk melanjutkan studi pasca sarjana ke luar negeri. Padahal saya sudah mapan bekerja di engineering consultant company, punya penghasilan yang mencukupi, tetapi malah pindah kerja ke institusi pemerintah dengan gaji yang hanya sepertiganya dari gaji semula.
Saudara saya sering meledek saya, kerja sebagi guru, ‘Kerjaan mulia dengan gaji dunia ketiga. Miskin!’
Ya, tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, memilih kerja menjadi guru adalah keputusan yang sungguh amat sangat berani, alias nekad! Kita harus menunggu dua tahun untuk diangkat menjadi PNS. Mungkin memang garis tangan saya. Salah satu dosen senior ketika kuliah dulu sering mengatakan, ‘Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa’. Dalam Bahasa Jawa, guru itu artinya ‘digugu lan ditiru — didengar dan dikuti’. Saya sering memlesetkannya menjadi ‘wagu tur kuru — kikuk dan kurusan’.
A teacher at the same time is a student. Seorang guru harus terus belajar mengasah keahliannnya sesuai dengan perkembangan ilmu. Bahkan di kelas pun mereka harus belajar memahami murid-muridnya, how the students learn, listen, understanding, memorise, retain the knowledge, and retrieve it when it is required. Bagaimana kita bisa menyampaikan ilmu dengan cara yang menarik, memotivasi, dan menginspirasi murid, sehingga mereka belajar dengan entusias dan dengan sadar mau memperluas pengetahuan dan pemahaman mereka di luar kelas. Yang lebih sulit lagi, kita tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu, tapi bagamana kita bisa memastikan bahwa murid-murid datang ke kelas dengan right attitude in the first place.
Saya selalu berkeinginan untuk bisa sekolah setinggi mungkin, sampai pol, menjadi doctor of philosophy, PhD, studi di luar negeri. Dan bisa mencapai puncak karir akademik menjadi profesor! Ketika masih SD, saya harus menghapal nama-nama menteri Kabinat Pembangunan. Banyak sekali menteri yang gelarnya berderet-deret: Prof. Dr. Ir. di depan nama, dan di belakangnya masih ditambahi dengan MSc, MA, dan akronim-akronim lain yang saya tidak tahu kepanjangannya. Saya membayangkan, beliau-beliau ini pasti sangat pintar, selalu juara kelas. Alangkah indahnya kalau saya juga pintar dan berhasil studinya seperti beliau-beliau. Ingatan masa kecil ini terus melekat sampai sekarang. Namun, merealisasikan impian tidak semudah membalik tangan. Dan perjalanan hidup juga tidak selurus dan semulus seperti jalan tol. Rencana, tidak selalu sinkron dengan realita, dalam time frame yang pas dengan rencana kita: studi master degree, selesai, break 2 tahun, menikah, balik lagi untuk studi S3, 3-4 tahun rampung, lalu bisa dengan tenang membangun karir di perguruan tinggi, memenuhi tridarma, dan bisa mencapai puncak karir akademik menjadi profesor jauh sebelum pensiun! Demikian cita-cita dan rencana.
Ternyata, saya harus menunggu sampai 25 tahun untuk benar-benar bisa merampungkan studi S3, dan itu terjadi justru setelah saya pensiun! Dan cita-cita untuk bisa mencapai gelar pofesor, akankah tinggal sebagai sebuah mimpi? Impian dan cita-cita itu penting, membuat kita fokus. It gives us a sense of direction where to go, what to do. Meski ketika mengarungi lautan dengan perahu mungil menuju pulau impian, kita terus dihadang topan, badai, angin ribut, gelombang pasang, dan layarpun tercabik-cabik. Namun, bukankah kita masih punya matahari dan bintang-bintang yang terus memberi arah kemana harus berlayar?
Hidup ini sama sekali tidaklah indepen. Kita adalah individu, yang dalam mengukir impian dan cita-cita — yang independen, juga bagian dari dunia yang lebih besar, universe, yang ternyata tidak independen. Kita juga berinteraksi dengan lingkungan sekitar; keluarga, lingkungan kerja, dan other random unpredictable factors and elements in our life yang mempengaruhi keputusan-keputusan dan kadang sangat menghalangi rencana-rencana kita. Perjalanan menuju pulau cita-cita pun jadi sangat melelahkan. Kita sering dihadapkan dengan pilihan yang bukan pilihan … harus menjalaninya.
Impian untuk bisa meraih PhD masih tetap bersemayam di dada dan terpelihara. Saya sadar, kenyataan hidup telah membelokkan saya jauh dari rencana untuk sekian kurun waktu, namun saya harus mengadaptasi dan menyiasatinya. Seperti kata almarhum WS Rendra dalam puisinya, ‘hidup tidak untuk mengeluh dan mengaduh/hidup untuk mengolah hidup’. Yes, I have to make the best of my life, of what I have, and being creative to live within it. Still, I kept carrying my dreams with me!
Sungguh sedih, bekerja di sebuah institusi perguruan tinggi yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang tidak memahami hakekat kerja di dunia pendidikan. Dia justru melarang anak buahnya yang nota bene staf pengajar, untuk melanjutkan studi S2 atau S3, apapun alasan mereka, bahkan dengan biaya sendiri! Dan itulah yang terjadi dengan saya dan beberapa teman, korban ketidakadilan pimpinan! Namun, saya memutuskan untuk berangkat ke UK dengan niat studi S3. Kenekadan yang luar bisa. Dulu, saya juga melakukannya waktu pergi ke Australia untuk merampungkan master degree saya.
Teringat dengan ucapan Mas Bambang, senior saya, ketika pamit hendak berangkat. Beliau juga pernah memutuskan untuk studi S3 dengan biaya sendiri dan membawa istri dan anaknya berangkat ke Australia, menjual rumah untuk modal studi. Dia berhasil merampungkan studinya, dan sekarang sudah menjadi profesor. ‘He stole my line!’ ‘Aku dukung studimu. You know, PhD is a real something’. ‘If you can complete your PhD, you ARE somebody!’ Ucapnya dengan aksen Suroboyo, membuatku gemetar. Itu beliau ucapkan 15 tahun yang lalu dan sampai sekarang masih selalu terngiang-ngiang.
Sungguh, saya baru bisa memahami kata-kata beliau ketika benar-benar mengalaminya sendiri, bagaimana hidup di negeri manca, jauh dari sanak saudara, suami menjadi korban tabrak lari, seluruh tubuh kanannya paralysed, dan secara fisik tidak bisa bekerja lagi. Inilah pilihan yang bukan pilihan, kecuali harus menjalaninya.
Ini terjadi di saat yang terlalu dini, di tahun pertama saya menginjakkan daratan Inggris: negeri asing yang iklimnya selalu dingin, dan jauh dari sanak saudara. Dunia serasa berputar berbalik arah. Tubuh kecil ini seperti terlempar ke sebuah planit di satu galaksi entah apa namanya. Suddenly, I felt completely alone, lonely, and lost. Hari-hari terasa amat lambat dan melelahkan. Berhadapan dengan seseorang yang dulu begitu sabar dan penuh pengertian, lucu, kini telah berubah menjadi seorang laki-laki tak dikenal, yang frustrasi, penuh dengan rasa marah, tidak sabar – menyadari bahwa dia tidak lagi bisa bekerja seperti dulu. Seorang laki-laki yang kehilangan keseimbangan, berjalan sempoyongan seperti drunken master di filmnya Jackie Chan, tidak lagi bisa berjalan lurus, atau mengayuh sepeda – hobi yang sangat disukainya. Apa lagi bekerja: gardening, merawat dan membiakkan topical butterfly — pekerjaan yang dulu sangat ditekuninya dengan penuh semangat riset yang intense. Kini hanya tinggal di angan-angan saja.
Praktis dua tahun hidup saya lumpuh, low key and routine. Kegiatan saya tiap minggu hanya mengantar suami ke dokter, ke rumah sakit untuk cek dan tes ini itu, terapi jalan keliling estate dua hari sekali, seminggu dua kali ketemu teman minum kopi di local community centre. Belanja, masak, bersih-bersih, dan duduk istirahat di ruang tamu menemani suami nonton tv, sambil membuka-buka halaman koran yang sudah kadaluwarsa, mencari iklan lowongan kerja. Saya merasa menjadi penganggur yang tidak berguna! Namun matahari tidak selalu sembunyi di balik awan. Bulan pun muncul dalam kegelapan malam. Akhirnya saya berhasil kerja sebagai guru, setelah dua tahun cuma bisa menjadi asisten guru di sebuah college — karena tidak punya ‘British’ Teaching Certificate, meski di Indonesia sudah mengajar lebih dari 20 tahun di perguruan tinggi!
Waktu berlalu, dan cita-cita untuk bisa studi S3 tetap bersemayam di hati. Saya bersyukur dapat kesempatan studi PGCE, S2 Kependidikan untuk para praktisi, as part of my professional development programme, gratis. PGCE course ini sangat demanding, banyak menyita waktu. Jadi, setiap hari saya harus juggle between work, study and looking after my family. Tiga pekerjaan fulltime yang harus saya jalani. I wish I have 48 hours a day.
Bagaimanapun, kesempatan untuk bisa studi lagi membuatku semangat. Ternyata ada jalan untuk bisa kembali ke universitas melanjutkan studi, meski bukan PhD, yet. Waktu terus berjalan, terasa cepat ketika harus mengejar berbagai macam deadline: persiapan mengajar, belanja, masak, tugas essay, mengurus suami. Tidak ada lagi kesempatan untuk santai, mengukir angan-angan pun dilarang.
Di tahun kelima, saya nekad mendaftar studi S3 dengan biaya sendiri, hasil kerja rodi mangajar. Tapi baru setahun, kondisi kesehatan suami sangat memburuk, sehingga saya harus mengajukan intercalation. Kembali keluar masuk rumah sakit, menemani suami menjalani berbagai pemeriksaan. Di tahun ketujuh, miracle pun terjadi: saya dapat 3 tahun studenship untuk studi S3.
Akhirnya, impian pun menjadi kenyataan. Tahun-tahun penuh perjuangan dan tantangan. PhD is a 24 hour work! Meski sudah di rumah, pikiran masih ada di lab: ingat pembangunan ekperimental rig yang banyak mengalami hambatan; alat-alat yang sangat terlambat datang, terjadi furbishment besar-besaran di seluruh ruang lab sehingga praktis tidak bisa bekerja selama tiga bulan penuh, dan masih banyak gangguan non-teknis yang ada diluar kontrol saya.
Time is a healer. Di minggu terakhir menjelang liburan Christmas, I submitted my thesis. —- Lima menit setelah keluar dari ruang Viva, team penguji mengundangku masuk kembali. External examiner menyalamiku, ‘Esti, you pass your Viva.’ Kembali saya teringat ucapan Mas Bambang, ’If you can complete your PhD, then you ARE somebody’. ‘Alhamdulillah, Mas Bambang, I have completed it’. ‘Now, I AM somebody!’
Rampung. Lancaster March 2015.