Langit Lancaster sedang biru-birunya walaupun saat ini sudah masuk musim dingin di UK. Hidup jauh dari rumah sudah jadi impian saya sejak di bangku SMA. Semangat yang saya punya sederhana, semangat menjadi mandiri tidak bergantung kepada siapa pun termasuk kepada orang tua sendiri. Perjalanan menuju UK bukan perjalanan yang mudah, ibaratnya saat kita jatuh hati kepada seorang wanita cantik tapi hanya bermodal wajah dan dompet yang pas-pasan. Butuh banyak cara kreatif untuk mendapatkan hati wanita cantik tersebut, begitu juga dengan perjalanan saya ke UK, berkali-kali gagal untuk mendapatkan beasiswa dengan beragam alasan, dari bidang studi yang saya ambil tidak sesuai dengan syarat dari si pemberi dana sampai ditolak beasiswa dengan isu ‘gender’ dimana sang pemberi dana yang lebih condong memberikan dananya ke wanita. “Namanya juga hidup, justru kalau gak pernah gagal gak ada seninya?”, ujar seorang sahabat di sebuah sore yang gerimis di Bandung.
Akhirnya di bulan Mei dengan semangat empat lima saya kembali bangkit dari kegagalan-kegagalan yang saya alami, saat itu DEPKEU mengeluarkan pengumuman akan membuka beasiswa baru dan mereka tidak menyaratkan kami harus memiliki latar belakang yang khusus atau dengan kata lain beasiswa ini bisa didapat oleh semua kalangan hanya bermodalkan ‘aku orang Indonesia’. Setelah seleksi demi seleksi dijalani akhirnya saya menandatangani surat perjanjian beasiswa ini. LPDP namanya, sebuah badan pemberi dana pendidikan yang memang dirasakan lain daripada yang lain karena sangat membuka harapan untuk siapa pun yang ingin melanjutkan pendidikannya.
Minggu-minggu pertama di UK adalah minggu terberat saya, memang benar manusia itu dibekali kemampuan untuk bertahan hidup tapi nyatanya penyesuaian itupun butuh waktu dan menguras banyak pikiran. Saat pertama kali menginjakan kaki di UK saya sempat tidak percaya, bahwa ini adalah kenyataan yang akan saya jalani selama satu tahun kedepan, dunia yang sudah saya jalani sejak bangku SMP, bedanya dulu saya menjalaninya dalam khayalan saat membaca karya-karya “Sir Arthur Conan Doyle” dengan ‘Shelock Holmes’nya sedangkan saat ini saya betul-betul ada di tempat setting semua cerita itu dibuat, takjub rasanya. Mendarat di Manchaster pada tanggal 17 September 2013 saya tidak langsung pergi ke Lancaster kota dimana saya akan tinggal, terimakasih kepada LPDP dengan system kaderisasi yang dilakukan sebelum berangkat ke UK membuat saya memiliki banyak teman dekat, ditambah penerima beasiswa ini mayoritas memang akan bersekolah di UK. Manchaster itu kota yang tidak besar juga tidak kecil, di Indonesia mungkin kota ini bisa dibilang serupa dengan kota Bandung, tidak banyak bangunan kuno tapi juga tidak sesibuk London. Setelah menghabiskan dua hari satu malam di kota ini, akhirnya saya melanjutkan perjalanan ke Lancaster, butuh waktu satu jam untuk sampai ke tempat tinggal saya ini. Sampai di Lancaster saya cukup takjub dengan kondisi alam dan bentuk kotanya, seperti Lembang dihiasi banyak bukit, peternakan dengan nuansa kota yang cukup tua. Menjalani peran sebagai mahasiswa lagi ternyata cukup sulit, di dunia kerja kita dilatih untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa harus menganalisis lebih jauh permasalahan yang sedang kita hadapi, lain halnya dengan dunia kampus, disini saat ada permasalahan kita harus menganalisisnya dengan banyak teori-teori yang ada tapi saat kita mengalami jalan buntu dan tidak dapat menyelesaikannya itu bukan jadi masalah.
Satu semester sudah saya lalui dengan sangat menyenangkan, sistem pendidikan di UK menuntut kita untuk lebih banyak mengeksplor segala sesuatunya dengan mandiri, dosen hanya berperan sebagai ‘tour leader’ sementara sisanya kita yang dituntut untuk menggali lebih jauh seperti apa ilmu yang sedang kita pelajari disini. Mungkin saya termasuk beruntung, karena hanya kuliah tiga hari dalam seminggu itupun berurutan Selasa, Rabu, Kamis sisanya belajar mandiri, tidak mau rugi dengan waktu ‘santai’ yang banyak, hampir setiap waktu kosong saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk ‘melihat dunia’, seperti apa UK, bagaimana bentuk kotanya, budayanya. Saya nikmati betul setiap momennya, sampai pada satu titik saya berdoa “Tuhan kalau suatu saat saya diijinkan, menjadi pemimpin, saya ingin tempat tinggal saya Indonesia bisa menjadi tempat seindah dan seteratur ini, lingkungan bersih, manusianya ramah dan saling sapa, infrastuktur kotanya lengkap, hidup nyaman dan menyenangkan”. Saya lalu teringat dengan kata-kata bung Hatta puluhan tahun silam “TIdak ada yang lebih pantas selain Bangsa ini yang menjadi rumahku, dan dia tumbuh dari hasil kerja kerasku” terdengar sedikit utopis memang tapi saya memang cinta betul dengan rumah saya Indonesia, semenjak aktif berkarya membuat film, musik, tulisan dsb saya semakin tersadarkan bahwa Negara kita itu hebat, sayang banyak orang yang terlenakan dan hanya egois menjalani kehidupannya sendiri tanpa mau menjaga, memelihara dan membesarkan ‘rumah’ nya sendiri.
Setelah jalan-jalan ke banyak tempat di UK, banyak hal yang menginspirasi saya, termasuk makna pendidikan itu sendiri. Ternyata universitas yang sesungguhnya itu bukan sesempit ruang kelas yang ada di Lancaster University, tapi Universitas sesungguhnya itu ada di sekitar kita: ‘universe’ (alam semesta). Saya banyak belajar tentang ilmu periklanan justru bukan di kelas melainkan saat mengamati iklan-iklan yang ada di station tube di London atau saat membaca majalah dan koran gratisan yang kerap dibagikan di kota London.
Menyenangkan bisa mencicipi hidup rantau di Negara orang, tapi satu saat saya akan kembali ke Indonesia dengan semangat menjadikan rumah ini lebih indah dan nyaman untuk ditinggali. Semangat itu sudah saya mulai dari sekarang bersama dengan PPI UK saya dan teman-teman pengurus membuat sebuah gerakan #UntukIndonesia, gerakan ini cukup sederhana tapi harapannya bisa membuat banyak inspirasi untuk semua pelajar-pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di sini. #UntukIndonesia adalah semangat untuk menciptakan sebuah karya, jadi apapun karya yang kita buat di sini, harapannya bisa menginspirasi Indonesia, misal hampir semua tugas saya di kampus bernuansakan budaya Indonesia, kuliah keseringan menggunakan batik dan kalau jumatan kerap kali pakai sarung, lambat laun teman-teman penasaran juga dengan Indonesia dan akhirnya Indonesia dikenal dari batik dan sarung yang kerap saya gunakan sehari-hari.
Gilang Nur Rahman
University of Lancaster – Psychology of Advertising