Sebagai pembelajar yang punya minat besar di bidang riset, mengerjakan sebuah proyek penelitian di laboratorium dengan instrumen lengkap sesuka hati tanpa ‘ngantri’ merupakan mimpi yang jadi nyata. Merupakan suatu anugerah yang luar biasa ketika saya bisa berkesempatan kuliah dengan beasiswa dari LPDP dan mengerjakan penelitian di salah satu kampus yang tergabung dalam The Russell Group, wadah yang menaungi 24 universitas terbaik di UK yang dikenal akan kualitas pendidikan dan risetnya.
Menempuh studi di departemen Teknik Kimia di University of Birmingham tentunya tidak hanya dipenuhi dengan cerita yang senang-senang saja. Di program studi saya, walaupun saya memilih postgraduate taught study, beban riset masih cukup besar, sekitar 60 kredit, yaitu sepertiga dari total kredit mata kuliah. Alokasi waktu studi master di UK yang hanya satu tahun pun berimbas ke ketersediaan waktu riset. Ketika saya mengetahui bahwa penelitian hanya dilakukan selama 3 bulan berikut penulisan tesis, yang pertama muncul di benak saya adalah … “this is totally insane.” Saya sebagai mahasiswa yang melakukan lab-based research jelas bingung, riset seperti apa yang pengambilan datanya bisa dilakukan kurang lebih dua bulan, tapi tetap memenuhi standar kualitas level Master? Dari segi teknis pun awalnya otak saya tetap berpikir ini tidak masuk akal. Bagaimana dengan adaptasi dengan lingkungan lab baru? Bagaimana trial and error-nya? Apalagi riset saya berhubungan dengan mikroorganisme yang cukup memakan waktu dari segi persiapan pertumbuhannya berikut analisisnya.
Dihadapkan situasi seperti ini, akhirnya saya mengulang apa yang saya lakukan di kampus saya kuliah sarjana dulu (kampus Ganesha 10 🙂 ) ketika mengerjakan penelitian/skripsi. Mengutip perkataan mamah saya, ‘Apa yang bisa dikerjakan hari ini, ya dikerjakan’. Ternyata, kesigapan saya terlihat asing dan ‘aneh’ di kalangan siswa Master lainnya. Ketika orang-orang datang ke lab jam 10 pagi, saya datang ketika lab baru dibuka, sekitar jam 8 pagi. Padahal aktivitas kampus sudah dimulai dari jam 7 pagi di Indonesia, bukan? Apabila ada waktu luang di tengah-tengah eksperimen, saya isi dengan membaca jurnal ilmiah atau mencari prosedur/protokol lain jika eksperimen sebelumnya gagal atau hasilnya kurang memuaskan. Beberapa kali pun saya menjadi orang yang paling terakhir meninggalkan lab dan pulang tengah malam, menginap di perpustakaan, dan kadang datang ke lab di akhir pekan. Hampir semua rekan di lab heran dan kaget saya bekerja sekeras itu. Namun, jika dibandingkan eksperimen sewaktu sarjana, ini tidak seberapa, ada kok teman-teman satu kelas di kampus dulu yang lebih rajin daripada saya :-).
Yang ingin digarisbawahi disini adalah disadari atau tidak, budaya kerja di kampus saya berikut institusi/universitas di Indonesia lainnya sebenarnya mempersiapkan mahasiswanya untuk menjadi pribadi yang mandiri dengan jiwa pekerja keras. Adanya beberapa keterbatasan dari segi fasilitas di kampus Indonesia nampaknya juga memberikan efek positif bagi mahasiswa, yang secara tidak langsung menstimulasi untuk bisa berpikir kreatif, cerdik, berinisiatif tinggi, dan memiliki kemampuan problem-solving yang cakap. Tak heran, banyak profesor-profesor kampus luar negeri yang sangat senang dengan hasil pekerjaan dan etos kerja mahasiswa asal Indonesia, khususnya di lingkup lab-based research.
Berdasarkan pengalaman saya di kampus saya kuliah S1 dulu, satu dosen bias sampai membimbing lebih dari lima mahasiswa. Alhasil, kita-lah yang harus ‘hiperaktif’ buat janji dengan dosen pembimbing.Kalau tidak, dosen bisa lupa dengan penelitian yang kita kerjakan, bahkan bisa jadi tidak kenal dengan mahasiswanya! Karena terbiasa dengan keadaan sewaktu S1, saya termasuk mahasiswa yang cukup sering meeting dengan dosen pembimbing, minimal dua minggu sekali. Ternyata, budaya seperti inilah yang dicari dari seorang mahasiswa riset di universitas UK, khususnya di fakultas saya. Dosen pembimbing, (atau setidaknya dosen pembimbing saya) termasuk orang yang terbuka dan member kebebasan bagi mahasiswanya untuk lebih kreatif. Walaupun demikian, beliau berhak diberitahu apa yang mahasiswa kerjakan di lab per minggu, sampai ke prosedur sekecil apapun, sehingga riset tetap terpantau.
Kerja keras dan dedikasi yang cukup tinggi beserta doa dan dukungan keluarga terdekat, alhamdulillah saya lulus dengan predikat distinction dengan nilai tesis tertinggi. Yang cukup mengagetkan juga, nilai tersebut merupakan nilai yang paling tinggi untuk modul riset/tesis sepanjang jalannya program studi saya (90/100) dalam beberapa tahun terakhir ini. Hasil riset kerjasama saya dengan salah satu mahasiswa S3 juga berhasil dipublikasikan dalam konferensi tahunan SfAM (Society for Applied Microbiology) Summer Conference di Brighton, UK, bulanJuli 2014 lalu. Hard work and perseverance do pay off then.
Torehan pengalaman saya ini bisa menjadi salah satu dari sekian banyak bukti bahwa orang Indonesia pun bias berprestasi dan bersaing di luar negeri, bahkan lebih baik dari mahasiswa setempat. Kalau saya bisa, berarti teman-teman yang membaca artikel ini insya Allah juga bias mengukir prestasi di bidang yang diminati masing-masing :-).
Amalia Ghaisani Komarudin (Amel)
MSc Food Safety, Hygiene, and Management
School of Chemical Engineering
College of Engineering and Physical Sciences
University of Birmingham, UK