/

February 3, 2013

Good Girls Go To Heaven…But Still Can Enjoy London!

“Good girl goes to heaven, bad girl goes to London.” Itu kata orang-orang. Ketika saya memilih London sebagai kota studi saya, apakah itu berarti saya tidak bisa menjadi “good girl”, demi menikmati London to the fullest?

Berbagai pertanyaan bermunculan di kepala saya sebelum berangkat ke London, tahun 2010 lalu. Akankah saya baik-baik saja? Bisakah saya bertahan dan lulus? Bisakah saya beradaptasi dengan budayanya? Akankah saya mengalami gegar budaya? Salah satu pertanyaan terpenting adalah: apakah saya akan bisa menjalankan agama saya dengan sepenuhnya tanpa hambatan?

Ada beberapa kekhawatiran menyangkut pertanyaan terakhir ini. London pernah menjadi sasaran serangan teroris yang dikaitkan dengan Islam di tahun 2005 sehingga mungkin masih ada sisa-sisa imbasnya. Ibu saya, khususnya, khawatir karena saya memakai jilbab. Namun saya sendiri tidak terlalu khawatir karena teman saya (orang Jerman) yang sedang menempuh S3 di Oxford menginformasikan bahwa London adalah kota yang sangat ramah kepada pendatang, termasuk dari negara muslim.

Setiba di London, September 2010, saya menemukan banyak kejutan yang, Alhamdulillah, menyenangkan. 🙂 Di kampus, sejak masa orientasi saya disambut oleh komunitas mahasiswa muslim yang tergabung dalam ISOC atau Islamic Society, yang terdiri dari mahasiswa muslim dari berbagai bangsa. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa asli Inggris yang merupakan keturunan Pakistan, India hingga Mauritania. Namun ada pula sejumlah mahasiswa internasional muslim, dari Turki, Amerika Serikat, Malaysia, hingga Islandia. Lebih surprising lagi, sebagian besar di antara mereka juga berjilbab! Jadi mahasiswa berjilbab di kampus saya bukan barang aneh. Bahkan sampul buku panduan masa orientasi menampilkan mahasiswi berjilbab (mungkin dari Malaysia) sebagai modelnya! Saya tersenyum saat menerima buku panduan itu. 🙂

Kampus saya, University College London (UCL) juga memiliki tempat ibadah yang mereka sebut sebagai “quiet contemplation room”, yang bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa dari agama dan kepercayaan apa saja untuk beribadah atau bermeditasi. Memang kebanyakan yang menggunakannya adalah mahasiswa muslim yang shalat lima waktu, namun saya beberapa kali melihat mahasiswa melakukan meditasi di sana. Kampus saya juga menyediakan “ablution place” alias tempat wudhu khusus yang berada di kamar mandi putri.

Kejutan lain saya temui di kantin atau refectory kampus UCL. Setiap hari ada menu halal yang berganti-ganti. Ada fish and chips, atau rupa-rupa makanan India dan Timur Tengah. Pernah sekali waktu ada menu halal berupa nasi goreng! Harga menu tesebut rata-rata 5 poundsterling, yang cukup mahal jika dibeli setiap hari. Karena terbiasa memasak sendiri dan memang berniat menabung untuk Eurotrip, saya tidak terlalu sering makan di kantin ini.

Belakangan, saya mengetahui bahwa kampus saya merupakan kampus sekuler tertua di Inggris. Di masa lalu, kampus-kampus di Inggris memiliki kaitan erat dengan Gereja Inggris (The Church of England). Jadi, dahulu, hanya anggota jemaat gereja saja yang boleh bersekolah di kampus, seperti Universitas Oxford atau Universitas Cambridge. Kampus saya juga menjadi kampus pertama yang memperlakukan perempuan dan laki-laki, penganut kepercayaan yang berbeda-beda, dan bahkan penganut atheisme dengan perlakuan yang setara. Semangat sekulerisme dan prinsip perlakuan yang setara ini saya rasa sangat berpengaruh terhadap apa yang saya rasakan selama menjadi mahasiswa di UCL. Di kampus saya, cukup mudah menemukan staf yang berkopiah, berjenggot panjang, berjilbab dan mampir ke contemplation room di setiap waktu dzuhur, ashar dan maghrib tiba. Teman-teman sekelas yang non-muslim pun pada umumnya sangat berpikiran terbuka. Mereka menghargai kepercayaan saya, cara saya berpakaian, pilihan saya untuk tidak minum alkohol dan untuk tidak makan babi. Salah satu sahabat saya (dari Kroasia) bahkan menyediakan jus nanas khusus untuk saya dalam pesta ulang tahunnya. Sementara salah satu flat mate saya (orang Amerika) menyampaikan bahwa dia akan memakai alat masaknya sendiri karena dia akan memasak daging babi.

Di luar kampus, saya juga tidak menemukan kesulitan yang berarti. Untuk perjalanan jauh saya biasa shalat di kereta atau di bus. Di jalanan saya juga tidak menemui masalah terkait dengan penampilan saya yang berkerudung. Seringkali, saat berpapasan dengan sesama hijabers di jalanan London (yang tidak saya kenal dan berasal dari berbagai ras), kami spontan bertukar senyum dan menganggukan kepala. Pernah suatu kali, suatu dini hari ketika saya turun dari bus yang membawa saya dari perpustakaan (maklum, menjelang musim ujian), seorang pria paruh baya mendekati saya. Awalnya saya sempat khawatir, namun ternyata bapak itu hanya mengingatkan dengan sangat sopan bahwa sebaiknya saya tidak berada di luar selarut ini karena barusan terjadi peristiwa penusukan. Bapak itu tampaknya salah satu penduduk muslim keturunan Arab yang memang banyak tinggal di sekitar kawasan asrama saya.

Saya juga tidak pernah khawatir tidak bisa blend in dengan penampilan saya yang berbeda. Tetap dengan berkerudung saya menghadiri end of term party di sebuah pub, dan saya juga dua kali menonton pertandingan sepakbola di Wembley (London) dan di Old Trafford (Manchester). Saya hanya tersenyum dan berkata “no, thank you” jika ditawari minuman beralkohol. Saya pun tetap menikmati pertandingan tanpa gangguan, sambil menikmati atmosfer di tenagh-tengah suporter fanatik di sekeliling saya (kebetulan saya menonton sendirian) ketika meneriakkan sumpah serapah untuk tim lawan.

Bagaimana dengan fasilitas penunjang kehidupan sehari-hari lainnya? Lagi-lagi saya harus banyak bersyukur. Untuk makanan halal, hampir tidak ada kesulitan yang saya temui. Bahan makanan halal, termasuk daging halal dan bumbu-bumbu dapur lainnya bisa didapatkan dengan mudah di berbagai toko lokal milik warga muslim keturunan Arab, Pakistan dan India di sekitar tempat tinggal saya. Supermarket Inggris pada umumnya juga sangat vegetarian-friendly, sehingga alternatif pilihan untuk saya yang tidak makan daging non-halal sangat terbuka lebar. London, dan kota-kota besar di Inggris juga memiliki masjid. Saya sempat shalat Iedul Fitri di London Central Mosque di Regent’s Park. Uniknya, shalat Ied diselenggarakan dalam beberapa batch, mulai dari jam 7 sekitar jam 9. Adanya beberapa “kloter” shalat berjamaah ini memudahkan umat Islam yang memang tidak libur di hari tersebut.

Highlight pengalaman saya selama hidup sebagai seorang muslim di Inggris, yang sering saya ceritakankembali, adalah ketika saya shalat Dhuhur dan Ashar di dua kesempatan yang berbeda, di dua gereja bersejarah di kota Oxford. Karena masjid jauh dan saya agak kesulitan menemukan tempat yang layak untuk shalat, penjaga Gereja St. Michael menawarkan tempat di dalam gerejanya untuk shalat. Di kesempatan lainnya, saya meminta ijin kepada penjaga gereja St. Mary untuk menumpang shalat. Ibu penjaga dengan senang hati mempersilakan saya melaksanakan shalat. Sungguh, pengalaman ini menjadi catatan pengalaman hidup sebagai minoritas yang dihargai.

Singkatnya, dari pengalaman saya setahun tinggal di UK saya menyimpulkan bahwa Inggris (United Kingdom) adalah masyarakat yang ramah terhadap minoritas pada umumnya, termasuk kaum muslim. Tidak perlu khawatir akan susah hidup sebagai practicing muslim di Inggris, apalagi menurut sensus penduduk tahun 2011, Islam menjadi agama terbesar kedua dengan populasi 2.7 juta orang, atau 4.8% dari populasi total. Meskipun harus dicatat juga bahwa ada kawan muslim lain yang pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan (tindakan rasis dan diskriminatif), terutama di kawasan yang lebih rural dan lebih homogen masyarakatnya. Setahun di Inggris juga memberikan kesempatan untuk mengalami toleransi dan mendapatkan perspektif yang berbeda.

Jadi, jangan ragu-ragu. Good girls, insya Allah, go to heaven…but they still can enjoy London! 🙂

 

Kontributor: Dyah Widiastuti

[spoiler title=”(klik) Profil: Dyah Widiastuti ” open=”0″ style=”1″]

Penulis adalah peraih beasiswa Chevening 2010-2011

Salah satu co-founder SabangMerauke

Saat ini mengabdi sebagai PNS di Kementerian PPN/Bappenas dan juga pemerhati isu demokrasi, politik internasional, Islam dan Indonesia

Pendukung Timnas Inggris dan Manchester United.

[/spoiler]

From the same category