Dias Widya Ramadhan, Vice President ISIC – TIIMI 2012 London, PPIUK
“Mas,, nanti sebelum masuk sekolah jangan lupa periksa darah dulu ya.”
Itulah pesan ibuku setiap minggu saat aku kelas 3 SD. Karena frekuensi periksa darah yang sangat sering sejak TK, aku bahkan bisa pergi sendiri ke laboratorium hanya diantar supir. Tidak lupa juga aku memakai masker agar tidak terkena debu dan virus penyakit lain dari lingkungan sekitar. Maklum kalau aku terkena penyakit lain, bisa-bisa pengobatannya dapat menimbulkan komplikasi untuk penyakit leukeumiaku. Jadi jangan heran kalau sampai umur 24 tahun ini aku belum pernah terkena penyakit cacar air.
Namaku Dias Widya Ramadhan, mahasiswa MSc Finance di University of Strathclyde, Glasgow. Ini adalah cerita perjuanganku mencapai cita-cita meski menderita leukeumia.
Awal terdeteksi
Agustus adalah bulan yang membahagiakan di keluargaku karena Bapak dan kakakku lahir di bulan ini. Di tahun 1993 aku baru berusia 5 tahun saat kakakku merayakan ulang tahunnya yang ke-8 di hari terakhir bulan Agustus, tanggal 31. Aku yang biasanya ceria dan cukup aktif, tiba-tiba menjadi lebih banyak diam dan gampang capek. Sudah beberapa hari ini aku memang tidak enak badan dan mudah lelah. Pada malam itu mulai banyak yang mengkhawatirkan keadaanku terutama tanteku yang seorang dokter. Akhirnya keesokan harinya aku dibawa ke dokter untuk diperiksa.
Mulai ada yang aneh di pemeriksaan dokter kali ini, tidak pernah dokter sampai memintaku untuk periksa darah. Aku yang berumur 5 tahun dan memang masih takut jarum suntik tidak bisa membayangkan betapa sakitnya saat diambil darah. Ketakutanku pun terbukti pada saat pengambilan darah yang agak sulit sampai harus beberapa kali disuntik. Walaupun begitu, kejadian ini barulah awal dari semua perjuangan yang harus aku jalani agar dapat sembuh dan mencapai cita-citaku.
Hasil dari laboratorium menunjukkan bahwa aku terkena leukemia atau kanker darah. Karena saat itu aku masih kecil, aku juga kurang tahu pastinya penyakit apa itu. Kalau aku tidak salah disebabkan karena kekurangan sel darah putih sehingga membuat ketahanan tubuh menurun. Hasil ini tentu cukup mengagetkan bagiku dan keluargaku. Penyakit ini biasanya ditularkan melalui virus, sementara aku sendiri jarang bermain di luar sekolah atau rumah jadi agak membingungkan juga bagaimana aku bisa sampai tertular.
Sejak saat itu, hidupku pun dihabiskan di rumah sakit dan menjalani berbagai macam pengobatan. Sudah tak terhitung berapa kali aku diinfus, sampai-sampai di tangan kiriku hingga saat ini meninggalkan bekas darah beku hasil suntikan infus tersebut. Bahkan karena terkadang sulit menemukan pembuluh darah, suster juga pernah memasukkan infus melalui kakiku. Tak lupa, seminggu sekali sumsum tulang belakangku harus diambil entah untuk apa,, yang aku ingat adalah betapa sakitnya menjalani pengobatan itu karena harus disuntik dalam posisi badan ditekuk. Selain pengobatan medis, asupan giziku juga harus dijaga. Aku mulai mengkonsumsi kaldu ayam, susu kuda liar hingga jus buah dari campuran buah bit, wortel dan apel.
Sudah sekitar sebulan aku bolak balik menginap di rumah sakit, namun keadaanku belum juga membaik. Bahkan pernah suatu kali aku dilarikan ke ruangan ICU. Saat itu dokterpun menyarankan untuk membawaku ke negeri Belanda karena disana ada rumah sakit spesialis yang menangani penyakitku ini. Tanpa banyak membuang waktu, orang tuaku pun memutuskan untuk setuju membawaku kesana agar cepat sembuh.
Berobat sampai ke negeri Belanda
Pengobatanku ini membuat aku pertama kali melakukan perjalanan ke luar negeri. Pertama kali juga merasakan musim dingin dan melihat salju dalam hidupku. Walaupun begitu pengobatanku harus dilanjutkan. Pengalamanku berobat disini terasa lebih menyenangkan daripada di Indonesia mungkin karena aku sudah terbiasa dengan jarum suntik dan mereka lebih banyak menggunakan obat bius agar sakitnya tidak terlalu terasa. Selain itu mereka juga perhatian dengan pasien anak-anak dengan menghadirkan badut, mainan dan buku-buku menarik sehingga tidak terkesan sedang di rumah sakit.
Berangkat dengan ibu dan mbah membuatku menjadi semakin pendiam. Apalagi dikelilingi orang yang tidak aku mengerti karena pada saat itu akupun belum belajar bahasa inggris. Hingga akhirnya kakak, bapak dan eyangku juga datang menyusul. Hidupku pun menjadi lebih ceria dan mulai bisa menikmati masa-masa pengobatan ini. Pengobatan di Belanda sendiri dihabiskan dalam 2 tahap yaitu 4 bulan di tahap pertama (tahun 1993) dan 6 bulan di tahap kedua (tahun 1995).
Pada tahap pertama aku masih duduk di bangku TK sehingga tidak terlalu banyak pelajaran sekolah yang harus dikejar. Hal ini tentu berbeda pada tahap kedua. Aku sedang duduk di kelas 1 dan kelas 2 SD saat itu. Untuk mengejar ketertinggalan pelajaranku, buku-buku pelajaran aku bawa semua dan aku pelajari. Beruntung ada Sekolah Indonesia di negeri Belanda sehingga beberapa kali aku kesana untuk melakukan ulangan harian yang sudah dikirimkan oleh guruku di Indonesia. Cukup beruntung aku tidak mengalami banyak masalah dalam mengejar pelajaranku, bahkan aku masih masuk 10 besar selama di sekolah.
Kembali ke Indonesia
Meskipun sudah menjalani pengobatan di negeri Belanda, kondisiku harus dijaga sampai 6 tahun setelah pengobatan untuk dinyatakan sembuh total. Oleh karena itu, untuk menghindari tertular penyakit dari lingkungan sekitar aku menggunakan masker. Selain itu aku juga harus menjaga kondisi tubuh agar tidak kecapekan. Seperti yang aku ceritakan pada awal tulisan ini, aku juga masih harus rutin periksa darah untuk memonitor kondisiku.
Frekuensiku masuk sekolah pun dilakukan secara bertahap. Pada saat kelas 2 SD aku masih lebih banyak belajar di rumah sehingga sering kali guru sekolah datang ke rumah untuk memberi ulangan harian. Mulai kelas 3 aku pun mulai masuk sekolah, mulai dari setengah hari dan akhirnya masuk sekolah secara penuh pada saat kelas 4 SD. Untungnya aku tidak mengalami kesulitan selama kurun waktu tersebut, aku selalu masuk 10 besar bahkan lulus SD dengan nilai terbaik di sekolahku.
Masuk masa SMP, dokter sudah menyatakan aku sembuh total meski harus tetap menjaga kondisi. Frekuensi periksa darahku berkurang dan aku tidak perlu menggunakan masker lagi. Sejak itu akupun mulai aktif berkegiatan dengan mengikuti Drum Band sekolah dan pengurus OSIS. Masa SMAku pun juga terbilang cemerlang baik secara akademik maupun non-akademik. Aku mengikuti kelas program akselerasi dan menjuarai beberapa perlombaan serta ikut paduan suara yang menjuarai FPS ITB 2004.
Cita-citaku dalam meraih pendidikan tidak berhenti sampai disitu. Aku meneruskan program sarjana di sekolan bisnis dan manajemen ITB. Dalam waktu tiga tahun akupun lulus dengan predikat cumlaude. Selama di ITB aku juga berkesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar selama satu semester ke Rijksuniversiteit Groningen (RuG) di negeri Belanda. Kesempatan ini juga membawaku kembali dengan kenangan masa kecil saat berobat disini. Setelah sempat bekerja selama 2 tahun, aku kembali meneruskan cita-citaku dengan melanjutkan program master bidang finance di Inggris.
Hidup ini memang tidak mudah, ada hikmah di setiap cobaan yang terjadi. Berjuanglah sekuat tenaga dan berdoa kepada Tuhan agar mendapat hasil yang maksimal. Jangan pernah menyerah untuk mencapai cita-cita meski banyak rintangan yang harus dihadapi. Karena pada akhirnya, semua akan menjadi indah pada waktunya.
Untuk membaca cerita perjuangan ibuku menemaniku berobat, bisa klik: http://pub.bhaktiganesha.or.id/itb77/files/buku30tahun77/Kisah%20Yayoeng.pdf
Glasgow, Juli 2012
Dias Widya Ramadhan
MSc Finance University of Strathclyde, Glasgow, Scotland, United Kingdom
Vice President, Indonesian Scholars International Convention (ISIC) – TIIMI 2012 di London, PPIUK
Honors:
SBM Institut Teknologi Bandung, Dean’s List (2006-2007)
SMA Negeri 5 Surabaya Best Student Awards (2005)
[spoiler title=”(klik) Profil: Dias Widya Ramadhan ” open=”0″ style=”1″]
Penulis sedang menempuh pendidikan master MSc Finance di University of Strathclyde, Glasgow, Scotland, United Kingdom. Aktif sebagai pengurus PPI United Kingdom bidang Pengabdian Masyarakat. Saat ini, menjadi penanggung jawab kegiatan Gala Cultural Night-Discover Indonesia, PPIUK dan Vice President Indonesian Scholars International Convention 2012 di London.
[/spoiler]