Nilai Ekonomi Karbon: Adakah Tradeoff antara Ekonomi dan Lingkungan?

Apr 18, 2021

By: Irfan Nurhadi
MSc. Environmental Policy
Imperial College London

Teori Ekonomi Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Sejak kemunculannya, Pearce (2002) beranggapan bahwa yang membedakan environmental economics dengan teori klasik adalah titik tekanya pada proses terjadinya pasar atau terjadinya pertukaran jual beli yang gagal melibatkan factor lingkungan di dalamnya. Kegagalan pasar inilah yang menjadikan dasar dari jawaban mengapa kerusakan lingkungan bisa terjadi. Taschini (2020) mempercayai bahwa untuk membuat pasar bekerja dalam konteks lingkungan, diperlukan dua hal yang paling utama yaitu pendefinisian kepemilikan yang baik serta adanya perilaku ketertarikan yang rasional. Dari perspektif alokasi sumber daya, maka kepemilikan akan ‘lingkungan’ dapat didefinisikan dengan baik apabila memenuhi syarat; (1) hak yang komplit, berarti jelas dan dapat ditukar, (2) partisipan yang atomistic, (3) distribusi informasi yang merata, (4) biaya transaksi yang relative sangat kecil.

Lingkungan yang dianggap sebagai eksternalitas dalam kegagalan pasar di atas perlu ‘diinternalkan’ agar pasar mampu mencerminkan nilai cost yang sebenarnya. Dalam implementasinya, hal tersebut dapat dilakukan dengan 2 tipe intervensi yaitu langsung (liability laws dan emission standard) dan juga Indirect (atau diserahkan pada mekanisme pasar). Cara direct yang relatef digunakan di berbagai negara untuk mengatur tingkat polisi, dianggap tidak efisien karena memiliki cost yang lebih tinggi dan tidak mencerminkan prinsip equimarginal (Taschini, 2020). Hal tersebut cenderung menimbulkan ketidakadilan bagi poluter untuk memenuhi aturan yang berlaku dan akan berdampak pada melambatnya insentif transformasi menuju teknologi yang ramah lingkungan.

Carbon market saat ini

Adapun pada saat ini, intervensi dengan menerapkan market-based instrument sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara di dunia. Laporan dari WorlBank (2020) menyebutkan bahwa sekarang sudah ada 61 inisiatif carbon pricing dengan 31 menerapkan system ETS dan 30 menerapkan carbon tax. Inisiatif tersebut tersebar di 46 negara dan 32 subnasional yang telah menutupi sebanyak 12 GtCO2e atau sekitar 22% dari total emisi GHG global saat ini. Selain itu mekanisme lain seperti crediting pun telah menghasilkan lebih dari 14.000 credits yang mencakup 4 billion tCO2e di seluruh dunia.

Pajak terhadap karbon dan mekanisme cap and trade memang menjadi dua mekanisme yang paling digemari di banyak negara karena mempunyai ciri masing-masing. Satu hal yang menjadi kelebihan masing-masing adalah pajak lebih simple sedangkan ETS akan menawarkan fleksibilitas bagi para penggunanya. Selain dua hal tersebut banyak mekanisme lain yang digunakan, Worldbank (2020) mengkategorikannya menjadi carbon credit, result based fund dan internal carbon pricing.

Menyusun carbon market Indonesia

Dengan meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016 maka Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional yang tercantum dalam dokumen NDC Indonesia. Selain itu Indonesia juga berkomitmen untuk mendorong aksi-aksi adaptasi di berbagai sector esensial. Langkah tersebut mempunyai tantangan besar yaitu kurangnya dana untuk perubahan iklim di Indonesia. Walaupun sudah mempunyai berbagai mekanisme seperti budget tagging, data dari Kemenkeu (2019) menunjukkan bahwa anggaran untuk perubahan iklim dari APBN masih relative kecil yaitu berkisar di angka 3-5%. Padahal laporan TNC pada 2017 menunjukan bahwa kita kekurangan USD 81 Billion untuk pembiayaan aksi mitigasi dan adaptasi. Dengan hal tersebut, mustahil bagi pemerintah untuk mampu membiayai semua anggaran tersebut. Hal tersebut mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai strategi seperti inovasi instrument pendanaan, kebijakan fiscal, akses terhadap pendanaan global dan juga menarik pihak swasta.

Analisis dari UNDP (2020) terhadap market readiness Indonesia menyatakan masih banyak aspek-aspek yang harus kita siapkan untuk siap membuka pasar carbon. Beberapa aspek yang perlu segera ditangani adalah awareness di Lembaga atau stakeholder, adanya framework untuk MBIs, design dan infrastruktur pasar carbon dan juga pilot activities. Pemerintah Indonesia dan stakeholder terkait sebenarnya sudah menginisiasi berbagai program yang terkait dengan hal tersebut seperti pembentukan BPDLH sebagai Lembaga pengelola dana, namun Langkah tersebut masih jauh dari cukup untuk mempersiapkan carbon market di Indonesia.