Quo Vadis UU Cipta Kerja: Setelah Disahkan Lalu Apa?

25 Oktober 2020

PPI UK menyelenggarakan diskusi online pertama dari rangkaian seri “Nusantara Virtual Café” yang membahas UU Cipta Kerja dari perspektif akademis, bisnis, serta masyarakat. Acara ini berhasil memantik diskusi substantif terkait isu yang sedang dibahas di Indonesia, serta mengutarakan masukan konstruktif yang dapat menjadi pertimbangan pemangku kepentingan terkait implementasi UU Cipta Kerja di lapangan.

Narasumber

Dr. Rimawan Pradiptyo

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas, Gadjah Mada

Rosan Roeslani

Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia)

Yustisia Rahman

HDR Researcher, Queensland University of Technology

Yorga Permana

Ph.D Candidate, London School of Economics and Political Science

Berikut merupakan poin-poin penting yang disampaikan oleh masing-masing pembicara.

Dr. Rimawan Pradiptyo (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas, Gadjah Mada) membahas kompleksitas perizinan berbasis risiko pada UU Cipta Kerja.

  • “Masalah utama ease of doing business di Indonesia bukan hanya tentang perizinan dan regulasi, tetapi juga perlunya perbaikan di aspek kelembagaan, salah satunya korupsi.
  • Pendekatan berbasis risiko untuk perizinan di UU Cipta Kerja menegasikan konteks keindonesiaan, aspek budaya, dan sosial-kemasyarakatan. Faktor-faktor ini tidak menjadi bagian dari standar pelaksanaan kegiatan usaha.
  • Kita masih berada dalam kondisi “perang” melawan Covid-19. Apa yang harus dilakukan? Fokus! Penanganan yang baik akan berdampak kepada pemulihan ekonomi dalam jangka panjang. Seharusnya pembahasan omnibus law bisa ditunda karena belum mendesak.”

Rosan Roeslani (Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)) membahas UU Cipta Kerja dari perspektif pengusaha dan investor.

  • “Kita masih menghadapi kondisi COVID, tetapi kita harus berpikir optimis untuk menangani tekanan dari COVID. Kita harus beradaptasi dan bertahan agar keluar dari kondisi tekanan COVID yang sangat tinggi ini.”
  • “Yang diinginkan pemerintah lewat UU ini adalah mengurangi pengangguran dan mendorong pekerja sektor informal ke sektor formal. Selama pandemi ini, pemutusan tenaga kerja meningkat dan jumlah masyarakat miskin meningkat. Jika tidak ditanggulangi, semakin banyak pengangguran dan tambahan angkatan kerja baru akan menimbulkan gejolak sosial.”

“Jika berefleksi ke mayoritas negara Eropa, fleksibilitas ketenagakerjaan bukan satu-satunya jalan untuk maju. Perlindungan tenaga kerja perlu diperhatikan mengingat hanya 23% pekerja di sektor formal yang sudah memiliki kontrak permanen.” – Yorga Permana 

Yustisia Rahman (HDR Researcher, Queensland University of Technology) membahas aspek hukum lingkungan, SDA, dan hak masyarakat adat setelah UU Cipta Kerja.

  • “UU Cipta Kerja menghapus ketentuan izin lingkungan, membatasi partisipasi publik dalam penyusunan AMDAL, dan berpotensi mengganggu kehidupan masyarakat adat dengan perlindungan yang semu.
  • Kita semua sepakat Indonesia harus maju, tetapi proses legislasi harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada proses politik yang bagus, jangan sampai jalan keluar selalu harus melalui Judicial Review di MK. Perlu ada proses politik yang mengakomodir masyarakat untuk menyampaikan pandangannya.”

 

Yorga Permana, Ph.D Candidate in Economic Geography, London School of Economics and Political Science mengangkat perspektif ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.

  • “Jika berefleksi ke mayoritas negara Eropa, fleksibilitas ketenagakerjaan bukan satu-satunya jalan untuk maju. Perlindungan tenaga kerja perlu diperhatikan mengingat hanya 23% pekerja di sektor formal yang sudah memiliki kontrak permanen.
  • Apalagi Indonesia sudah masuk ke dalam negara berpendapatan menengah ke atas. Agar tidak mengalami middle income trap, kita mesti mengandalkan SDM berkualitas, bukan lagi berfokus kepada eksploitasi buruh murah.” (Rikasrat PPI-UK)

Watch on Youtube